Meminjam istilah Dr. Yusuf al-Qardhawi dalam Fiqh Jihad-nya, “Tidak ada besar atau kecil dalam ilmu.”
Dilanjutkan oleh beliau, “Sebagaimana kita lihat Sulaiman pun sudi belajar pada semut dan burung hud-hud.”
Hal ini menggambarkan bahwa asas terpenting dalam ilmu yaitu kesediaan kita untuk dengan legowo menerima ilmu itu dari manapun datangnya.
Ilmu Bukan Monopoli Guru Atau Orang Tua
Ilmu bukan dominasi orang yang lebih besar, lebih tua, lebih banyak titelnya, lebih banyak bintang penghargaannya, atau lebih tinggi strata sosialnya.
Jika diejawantahkan dalam profesi kita sebagai guru, maka kita tidak boleh merasa hina atau malu saat ada siswa yang ternyata dalam satu kesempatan mampu menjadi ‘guru’ bagi kita.
Menjadi guru yang dimaksudkan di sini bukan selalu dalam hal intelektual yang berhubungan dengan poin, tetapi juga bisa dalam hal nilai yang berhubungan dengan moralitas.
Satu Pertanyaan Bisa Memunculkan Banyak Ilmu
Saat kita menjelaskan bab shalat, tiba-tiba ada siswa yang bertanya “bagaimana cara mengingatkan ayah yang tidak shalat?” Maka pertanyaan itu layak untuk kita renungkan karena sesungguhnya dalam perenungan itu akan mengantarkan kita pada ilmu-ilmu hikmah lainnya.
Apakah berlebihan jika saya berpendapat bahwa dengan pertanyaan itu ia sedang mengajarkan kepada kita tentang arti sebuah keshalihan yang tulus karena walaupun orang di sekitarnya, bahkan sosok yang seharusnya menjadi role model baginya tidak shalat, dia tetap istiqamah menjalankan shalat.
Padahal bisa saja ia mengikuti ayahnya untuk tidak shalat dan saat ada yang memprotes tindakannya dia tinggal menyalahkan ayahnya.
Dengan pertanyaan itu kita juga belajar bahwa hidayah itu mutlak hak prerogatif Allah, yang tidak boleh dipertanyakan ataupun digugat tentang kepada siapa hidayah itu diberikan.
Inilah Makna Ikhlash Yang Sebenarnya
Kita tidak bisa bertanya kepada Allah, “Mengapa ayahnya tak kunjung mendapat hidayah, padahal anaknya begitu baik?”
Murid yang bertanya itu juga telah mengajarkan kepada kita tentang kasih sayang seorang anak terhadap ayahnya. Kita sudah sepakat bahwa perhatian merupakan bentuk kasih sayang yang tertinggi…mengalahkan limpahan materi.
Jadi, ketika seorang anak memikirkan tentang ayahnya yang tidak shalat, maka secara implisit dia telah mengatakan bahwa dia tidak ingin ayahnya terus melakukan kedurhakaan kepada Allah, yang berakibat pada buruknya kehidupan di akhirat nanti.
Dia juga menunjukkan kepada kita tentang hakikat ikhlas. Karena dia telah mengambil alih tanggung jawab yang dibebankan oleh Allah ke pundak ayahnya -menyelamatkan diri dan keluarganya dari siksa neraka- tanpa rasa terpaksa ataupun jemawa.
Bisa Berkembang Ke Banyak Cabang Ilmu
Bagaimana cara mengingatkan ayah yang tidak shalat adalah sebuah pertanyaan yang membuka banyak sekali ilmu bagi kita.
Melalui pertanyaan itu kita bisa masuk ke ranah pernikahan. Kita bisa menjelaskan pada para siswa tentang pentingnya memilih calon suami yang baik, karena dia juga akan berdampak ada anak-anak kita kelak.
Kita juga bisa masuk pada ranah tentang sabar, dengan mengaitkannya terhadap kewajiban birrul walidain. Bahwa seburuk apapun perilaku orang tua, kita wajib tetap menghormati dan mendoakan dengan baik sepanjang hayat kita.
Pintu lain yang bisa kita masuki dari pertanyaan itu adalah tentang bagaimana kebijaksanaan dan hikmah dalam berdakwah kepada ayah.
Teladan Dari Nabi Ibrahim
Kita bisa meneladani Nabi Ibrahim yang tetap mengajak dialog ayahnya yang enggan beriman kepada Allah.
Kepada ayah yang berbeda keimanan saja, Nabi Ibrahim mengajak dialog dan bahkan mendoakan agar mau beriman. Apatah lagi kepada ayah yang masih beriman namun belum taat kepada Allah.
Ada lagi pintu tentang takdir Allah yang bisa berubah dengan doa yang dipanjatkan dengan sungguh-sungguh.
Penulis: Fitriya Zulianik, MA, guru SMK Al Irsyad
Editor: Oki Aryono