“Maaf, bu…”
Gadis kecil itu hampir menangis, mata coklatnya berkaca-kaca, sekuat tenaga dia tahan bulir air mata yang hendak jatuh, terus menahan diri, bertahan, menarik napas panjang, kemudian perlahan dia hembuskan perlahan, berpacu dengan waktu, harus segera dia sudahi “drama” kesedihan ini. Kemudian dia mencoba tersenyum dan perlahan bangkit dari kursinya, berdiri dengan gagah, berjalan dengan tegap, maju ke depan kelas, menunduk, mengambil buku tulisnya yang sengaja dilempar oleh guru matematikanya. Dengan hormat dia datangi gurunya, seraya berkata dengan sopan : “maaf bu, besok bukunya saya ganti yang baru”. Sang guru hanya mengangguk dan berkata ; ya , tanpa sedikitpun menoleh pada si gadis kecil yang sekali lagi berusaha sekuat tenaga agar bulir air matanya tidak jatuh menetes di pipi. Dan waktu berjalan begitu saja, hari itu murid-murid kelas V-A sedang sibuk mengerjakan soal matematika dan bahasa indonesia yang tiap hari menjadi menu wajib anak-anak yang sedang mempersiapkan diri mengikuti ujian akhir setahun kemudian.
Intan namanya, gadis kecil dengan bando merah, rambut lurus sedikit bergelombang dengan panjang sebahu, di pergelangan kirinya melingkar jam tangan kulit warna maroon hadiah dari kakeknya. 2 hari yang lalu, guru matematika sekaligus wali kelasnya berkata kepada murid-muridnya agar menyiapkan satu buku tulis baru, khusus untuk buku ulangan. Ya, buku ulangan. Karena rencananya tiap hari akan ada ulangan khusus mata pelajaran matematika dan bahasa Indonesia, agar murid-murid terbiasa dengan soal-soal ujian akhir saat kelas VI nanti, tentu saja diharapkan agar murid-murid mampu meraih nilai terbaik dan berhasil masuk sekolah manapun yang diinginkan. Waktu itu Intan hanya memiliki satu buku kosong yang sebenarnya tidak benar-benar kosong, sudah terpakai 2 lembar bagian depannya. Buku tersebut disampul rapi oleh Intan, sampul coklat kemudian dilapisi sampul plastik, namun 2 lembar buku yang sudah terpakai tidak disobek, melainkan dijadikan satu dengan sampulnya, sehingga jelas terlihat jika buku tersebut bukan buku baru. Hal itulah yang mungkin memicu kemarahan guru matematikanya, karena instruksi beliau jelas : siapkan satu buku tulis baru. Nah, buku tulisnya Intan tidak baru, sudah terpakai 2 lembar. Intan sama sekali tidak membantah, bahkan tidak marah, meskipun bukunya dilempar begitu saja di depan 38 murid yang lain. Intan hanya malu, karena diperlakukan seperti itu oleh gurunya, hanya kesalahan sepele, hanya karena 2 lembar buku yang tak disobek agar seolah-olah tampak baru. Mengapa saat itu intan tidak beli buku tulis yang baru?jelas karena tidak ada biaya, tidak mudah membeli satu buku tulis baru diluar buku tulis yang sudah terbeli pada awal tahun ajaran baru. Sebenarnya bisa saja Intan meminta pada orang tuanya agar membelikan satu buku tulis yang baru, untuk keperluan pendidikan pasti akan diutamakan. Namun Intan tidak berpikir sejauh itu, gadis 10 tahun itu berpikir bahwa yang penting bukunya masih bisa dipakai, hanya terpakai 2 lembar, masih ada 36 lembar yang kosong dan siap digunakan, untuk apa beli buku yang baru. Ternyata apa yang dipikirkan gurunya tidak sama dengan apa yang dipikirkan Intan, dimata gurunya mungkin anak ini tidak mematuhi perintah guru. Intan malu, sungguh benar-benar malu hingga hampir menangis, namun Intan teringat perkataan ayahnya 2 tahun yang lalu: “jangan menangis, karena menangis itu tidak pernah menyelesaikan masalah”.
Pada akhirnya Intan membeli buku tulis yang baru, dia membelinya sendiri, menggunakan uang jajan tambahan yang kadang diberikan oleh kakeknya. Intan tidak bercerita apapun kepada kedua orang tuanya, karena bagi Intan kejadian itu sudah cukup menyesakkan dada, tidak sanggup dia ceritakan pada orang lain, meskipun itu pada kedua orang tuanya. Intan tidak punya kakak dan tidak mungkin pula dia bercerita pada kedua adiknya yang baru berusia 5 dan 2 tahun. Apakah setelah membeli buku tulis yang baru masalah berhenti begitu saja?oh tidak, Intan harus berusaha memerangi perasaannya sendiri, setiap melihat guru tersebut, terbayang lagi kejadian “terbang” nya buku tulis miliknya di depan kelas, setiap pelajaran matematika dia pun teringat ekspresi wajah gurunya saat menerbangkan buku tulisnya, padahal setiap hari dia harus bertemu dengan guru matematika sekaligus wali kelasnya tersebut. Akibatnya pelajaran matematika sempat tersendat lama untuk bisa masuk ke dalam otaknya, meskipun hanya berupa penjumlahan bilangan negatif dengan bilangan positif begitu sulit masuk pada otaknya, karena dia benci guru tersebut, dia benci mengapa tak pernah ditanya baik-baik perihal bukunya yang tidak baru, dia benci diperlakukan seperti itu. Namun gadis kecil itu teringat, dia harus berhasil masuk SMP Negeri, dia harus bersekolah minimal sampai perguruan tinggi, karena pendidikan terakhir ayahnya adalah D-3. Ya, gadis berusia 10 tahun itu sudah memiliki target dan cita-cita yang jelas, bahwa dia ingin bersekolah hingga menjadi sarjana, dan yang paling penting, dia tidak pernah mengganti cita-citanya. Dari dulu dia ingin menjadi seorang guru.
Mengapa Intan ingin menjadi seorang guru?Karena dia melihat sosok ayah dan ibunya. Ibunya lulusan SPG (Sekolah Pendidikan Guru, setingkat SMA di masa itu), sementara ayahnya pernah menjadi guru SMP serta guru mengaji di masjid. Intan suka melihat koleksi buku-buku ayahnya yang digunakan untuk mengajar, dari mulai buku geografi, fisika, biologi, hingga buku menggambar. Bukan hanya suka, tapi intan juga membaca buku-buku tersebut meskipun tidak tahu persis apa makna di dalamnya. Bermodalkan keinginan yang kuat untuk bisa jadi sarjana, Intan harus memerdekakan diri dari belenggu kebencian pada gurunya, tidak mudah, namun perlahan akhirnya Intan mampu bertahan di kelas V dengan prestasi yang cukup baik. Dia naik ke kelas VI dan pada akhirnya berhasil masuk SMP yang diinginkan. Apakah kisah Intan berhasil memerdekakan diri dari belenggu apapun terhenti saat intan di SMP?ternyata tidak, masih ada kisah lainnya yang cukup menguras emosi, hampir menyurutkan langkah Intan untuk meraih cita-citanya.
“Mbak, ada apa kamu kok rame saja!!!”, Intan terkejut, sedikit ragu, apakah dia yang dimaksud. “iya kamu mbak, kamu yang berjilbab!!!”, akhirnya Intan benar-benar sadar, bahwa yang dimaksud guru PMP itu adalah dirinya. Dengan sopan intan berkata : “iya bu, tugas saya sudah selesai, ini teman minta diajarin bagaimana mengisi LKS nya”. Guru tersebut semakin marah : “gak usah sok pintar kamu mbak, pakai ngajarin teman segala!!!”. Intan hanya terdiam membisu, tidak lagi menjawab perkataan gurunya. Membetulkan posisi duduknya yang tadinya menghadap kebelakang, duduk dengan posisi yang benar di bangkunya, diam saja, tanpa melakukan apapun, tanpa berkata apapun namun pikirannya bekerja maksimal, banyak tanda tanya di kepalanya. Salahku dimana?salahku apa?apa ngajarin teman itu salah?kan aku sudah selesai, apakah aku salah bila mengerjakan LKS itu di rumah?kan mudah, tinggal mencari jawabannya di buku bagian depan, sudah ada semua jawabannya disitu, tinggal disalin saja. Lalu mengapa aku dibilang sok pintar?Aku mengerjakan LKS itu sendiri, tidak meminta bantuan pada siapapun. Aku ngajarin teman juga benar-benar diajarin, bukan langsung memberi tahu jawabannya, ngajarinnya ya dengan cara memperjelas kalimat pertanyaan sehingga temanku lebih mudah mengerti, lantas dimana letak kesalahanku???. Bukankah dengan aku ngajarin teman malah memudahkan guruku, karena berkurang tugas guruku dalam mengajar anak itu, lantas dimana letak kesalahanku sesungguhnya???Demikian banyak tanda tanya yang ada di kepala intan. Hanya dia simpan sendiri, tidak dia ceritakan pada temannya, karena memang pada dasarnya Intan enggan bercerita apapun kepada siapapun. Kalaupun bercerita, dia hanya bisa berbagi kebahagiaan, seluruh kesedihan dan gundah gulana biasa dia curahkan pada buku hariannya.
Pelajaran PMP di SMP kelas 1 berlangsung seminggu 2 kali, artinya Intan harus bertemu dengan guru yang sama selama 8 kali dalam satu bulan, dan kurang lebih 80 kali dalam setahun (anggap saja dalam setahun ada 10 bulan efektif untuk kegiatan belajar mengajar). Tentu saja Intan tetap harus mengikuti pelajaran PKN dengan baik apabila dia ingin nilai raportnya bagus, dan tentu saja dia wajib mengikuti alur kegiatan belajar mengajar sesuai kemauan gurunya yang tidak suka apabila Intan mengajari teman. Dalam hati Intan berkata : baiklah, dulu masalah dengan guru matematika SD bisa kulewati, maka saat ini dengan guru PMP juga harus mampu kulewati. Aku harus tetap fokus belajar bagaimanapun kondisinya, aku ingin nilai raportku bagus, aku ingin peringkatku bagus. Tentu saja tidak mudah bagi remaja 12 tahun itu, kalimat sok pintar masih saja terngiang-ngiang di otaknya. Berulang kali Intan membujuk dirinya sendiri dengan berkata dalam hati : Aku memang pintar, bukan sok pintar, sambil tersenyum sinis karena masih tidak terima dibilang sok pintar oleh gurunya. Intan berhasil melewati kelas 1 SMP nya dengan mendapatkan peringkat 5, 7, dan 3 (kala itu, sekolah dibagi dalam catur wulan, satu catur wulan terdiri dari 4 bulan. Sehingga dalam setahun ada 3 kali terima raport). Di kelas 2 dan 3 juga dilewati Intan dengan lancar, bahkan di kelas 3 Intan berhasil mendapatkan peringkat 1 dari 40 siswa. Sesuatu hal yang sudah sangat lama dicita-citakannya. Pada akhirnya Intan berhasil masuk SMA yang sesuai dengan keinginannya, dan diterima di perguruan tinggi negeri pada pilihan pertama. Dia juga berhasil mencapai cita-citanya yaitu menjadi seorang guru, bukan hanya guru, melainkan guru matematika. Jelas dia masih ingat guru matematika yang pernah membuatnya sempat membenci matematika, guru matematika yang sempat menyurutkan langkahnya untuk menjadi murid terbaik. Intan juga masih ingat dengan guru PMP nya dengan kalimat sok pintar tersebut. Namun Intan mampu berdamai dengan masa lalu, mampu memerdekakan dirinya sendiri dengan melepaskan belenggu kebencian, mampu memerdekakan diri dengan pengambilan keputusan yang tepat untuk tetap fokus belajar, menjadi murid terbaik dan mengabaikan faktor lainnya yang tidak terlalu penting.
Oleh : Aisah Rachmawati-Guru Matematika SMP