Yayasan Perguruan Al-Irsyad Surabaya (YPAS). Menjadikan Sekolah Al-Irsyad Sebagai Agen Perubahan Masyarakat  read more

Semarak Lomba Kemerdekaan

SEMARAK LOMBA KEMERDEKAAN  

By : Dylan Hakka

 

Di sore hari, tanggal 14 Agustus 2017. Aku dan dua temanku, Rizki dan Bisma sedang bermain di belakang rumah kami.“Oiya rek, kalian sudah daftar lomba buat tanggal 17 besok ta?” ucap Rizki. Bisma dan Aku sekejap saling menatap, kebingungan akan apa yang disampaikan oleh Rizki. Bisma pun berkata, ”Lomba tanggal 17?” “Iya, kan habis upacara, Pak Ali dan Pak Galih mau mengadakan macam-macam lomba buat warga sekitar.” sahut Rizki. Aku berkata, “Bukannya lomba-lomba buat remaja sama orangtua aja ya?”, Rizki menjawab, “Enggak, katanya ada lomba buat anak-anak juga, misalkan lomba menghafalkan Pancasila, sama lomba campuran yang bisa diikuti semua kalangan, lomba estafet karet misalkan.”, Bisma pun bertanya lagi, “Emang lomba buat anak-anak cuma menghafal Pancasila doang?” “Enggak tau, tapi setahuku cuma itu aja sih, gimana kalo kita nanya sama Pak Ali?” Rizki menyarankan. “Ya sudah ayo kita ke Pak Ali daripada bingung sendiri.” Kataku. Kami bertiga pun berinisiatif untuk pergi ke rumah Pak Ali. Tepat setelah kami berada di depan rumah Pak Ali dan hendak menyalakan bel rumahnya, Pak Ali pun tiba-tiba datang dari belakang dengan sepeda motornya. “Assalamualaikum, kalian ada perlu apa ke rumah saya sore-sore begini?” ujar Pak Ali selagi mematikan sepeda motornya dan membawa barang belanjaan berupa baju merah putih. “Waalaikumussalam, Begini pak, Saya, Bisma dan Dylan mau daftar lomba, kira-kira bisa dijelaskan tidak pak mengenai lomba apa saja yang bisa kami ikuti dan pelaksanaannya?”, kata Rizki dengan sedikit keraguan. Pak Ali pun menjelaskan, “Kalau seumuran kalian ada 2 lomba yang bisa diikuti, yaitu ada menghafalkan Pancasila dan satunya lagi menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.” “Kalau untuk pelaksanaannya, lomba menghafalkan Pancasila dilakukan jam 09.00 – 09.30, pemenangnya adalah yang paling hafal dan bagus dalam melafalkan Pancasila, juga tidak terbata bata dalam mengucapkan.” Pak Ali menegaskan. Bisma lagi-lagi berkata dengan agak bingung, “Kalau untuk lomba menyanyikan Indonesia Raya bagaimana pak?”. Pak Ali pun menjawab,“Untuk menyanyikan Indonesia Raya dilaksanakan sebelum lomba menghafalkan Pancasila, pukul 08.25 – 09.00, kalau untuk juaranya adalah yang paling merdu suaranya dan paling menghayati ketika bernyanyi, juga lirik yang pas dan tepat serta tempo yang sesuai dengan lagunya.” Aku berkata,”Berarti juaranya cuma 1 anak aja pak?” Pak Ali kembali menjawab,”Enggak, nanti bakal diambil 3 juara terbaik dari masing masing lomba.” Selesai untuk menanyakan lomba-lomba, Rizki pun bertanya lagi,”Pendaftarannya ada dimana Pak?” “Kalau mau daftar bilang saya aja, nanti saya juga bilang Pak Galih.” sahut Pak Ali. “Baik Pak, saya sama yang lain akan berpikir dulu di rumah buat lombanya.” kata Rizki seolah sedang buru-buru. Pak Ali kemudian membalas,”Baik Ki kalo gitu, saya juga mau siap siap mandi dan pergi shalat maghrib di musholla, Assalamualaikum.” Kami dengan berbarengan menjawab,”Waalaikumussalam.” Kami pulang ke rumah masing-masing dan mandi sehabis bermain di belakang rumah. Setelah adzan berkumandang, Aku pun segera berganti baju untuk pergi ke musholla belakang rumahku dan mendaftarkan diri untuk mengikuti salah satu lomba. Aku pun berjumpa lagi dengan Rizki dan Bisma, menunggu waktu iqomah. “Kau jadinya ikut apa Lan, menghafal Pancasila atau nyanyi Indonesia Raya?” Tanya Bisma, Aku menjawab,”Aku mungkin ikut menghafal Pancasila, suaraku gak enak buat nyanyi, kalo kamu Bis?” Bisma berkata lagi,”Aku mungkin ikut lomba menyanyikan Indonesia Raya aja, barangkali nanti keterusan jadi penyanyi terkenal.” Rizki tertawa terbahak-bahak akan pernyataan Bisma, Bisma pun sedikit marah mendengar tawaan Rizki,”Udah gak usah nertawain kau, mau ikut lomba apa kau Ki?” Rizki menjawab,”Aku paling ikut lomba estafet karet, biar gak kelamaan.” “Kelamaan apa Ki?” Tanya Bisma. “Ya kelamaan nunggu keputusan juri, kan kalau estafet karet juaranya sudah pasti.” Kata Rizki. Tak terasa iqomah sudah terdengar dan kami bergegas mengambil air wudhu lalu shalat. Disaat jalan pulang Pak Ali pun menyapa kami tentang keputusan mengikuti lomba,”Dylan, Rizki, Bisma sudah menentukan mau ikut lomba apa?” “Sudah Pak, Saya mau ikut lomba menyanyi, kalau Dylan mau ikut lomba menghafal Pancasila.” Sahut Bisma. “Kalau kamu gimana Rizki?” Tanya Pak Ali pada Rizki yang sedang minum air gelas dari dalam masjid. “Saya ikut lomba estafet karet saja Pak.” Ujar Rizki, Pak Ali berkata lagi,”Kalau kamu mau menanya detail dari lomba estafet karet, tanya dengan Pak Galih, beliau yang pegang acaranya.” “Baiklah kalau begitu Saya pulang duluan, Assalamualaikum.” Kata Pak Ali dengan memegang air minum gelas dari dalam masjid, hendak meminumnya. “Waalaikumussalam.” Kami bertiga menjawab, akhirnya kami pun pulang ke rumah masing-masing untuk istirahat sejenak lalu bersiap shalat isya’. Sampai di rumah Aku pun melanjutkan menghafal Pancasila, sangat sulit diawal tapi lama kelamaan terbiasa dengan hafalan tersebut. Sampailah pada tanggal 17 Agustus, setelah upacara kemerdekaan di kantor sebelah rumahku, warga pun beramai-ramai datang ke tempat pelaksanaan lomba. Untuk lomba pertama adalah menyanyikan lagu kebangsaaan Indonesia Raya. Lumayan banyak orang yang mengikuti lombanya, tapi setengah dari waktu yang seharusnya digunakan untuk mendengarkan mereka bernyanyi sudah ku pakai untuk melafalkan lagi Pancasila yang akan di lombakan nanti. Waktu berjalan, lambat laun satu persatu kontestan yang ingin bernyanyi sudah selesai, sudah waktunya untuk lomba berikutnya yaitu lomba menghafal Pancasila. Aku mendapat nomor urut 3, jadi setidaknya aku bisa mendengarkan peserta yang lain melafalkannya terlebih dahulu. “Yaak penampilan yang bagus dari peserta kedua! Selanjutnya adalah penampilan ketiga untuk lomba menghafalkan Pancasila, Ananda Dylan Hakka!” Tak disangka sudah waktunya aku maju ke depan, mendengar namaku disebut di depan orang banyak membuatku gemetar, tapi aku harus bisa memenangkan pertandingan ini. ”Pancasila, 1. Ketuhanan Yang Maha Esa, 2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh…” Aku berhenti sejenak, sedikit lupa akan kalimat yang ingin kuucapkan, aku menghela napas dan mencoba untuk tenang,”Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, 5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” “Tepuk tangan semuanya untuk peserta ketiga! Selanjutnya untuk peserta keempat silakan maju kedepan!” Aku bertanya dalam pikiranku apakah aku sudah menyebut semuanya dengan benar. Badanku gemetar dan penuh dengan rasa malu. Apakah aku salah menyebut sila keempat dari dasar negara Indonesia itu? Kepercayaan diriku serasa hangus ketika turun dari panggung. Akan tetapi, melihat Ayah, Ibu, dan kawan-kawanku menyorakiku membuatku semangat kembali. Pikirku, masih ada kesempatan untuk bisa mendapatkan juara. Lomba yang ketiga adalah Lomba Estafet Karet, lomba ini dilakukan oleh 6 orang dan membutuhkan kekompakan serta ketepatan. Para peserta harus berdiri pada garis lurus yang sudah disediakan oleh juri. Setiap peserta akan mendapatkan 1 stik yang harus mereka gigit dengan gigi mereka untuk bisa menyalurkan karet dari ujung stik dan sampai pada peserta terakhir. Kelompok yang paling cepatlah yang akan memenangkan lomba tersebut. Sayang sekali temanku Rizki kalah pada babak final, setidaknya dia sudah melakukan yang terbaik. Waktu sudah menunjukkan pukul 11.20, acara akan segera selesai. Pada sesi terakhir, akan ada pemilihan juara dan pembagian hadiah kepada para juara tersebut. “Baiklah Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekalian, tidak ingin membuat acara semakin lama, maka akan segera Saya umumkan, juara pertama untuk lomba menghafal Pancasila adalah…” Badanku merinding mendengar perkataan juri itu, rasa putus asa mulai menyelimuti diriku, sampai juri berkata, “Ananda Dylan Hakka!!” Aku kaget mendengar namaku disebut. Teman-temanku pun menyorakiku dan mengucapkan selamat kepadaku. Aku dan Bisma pun akhirnya naik ke atas panggung untuk penyerahan hadiah, karena dia juga memenangkan kontes menyanyi juara ketiga. Hadiahnya berupa sejumlah buku dan beberapa pensil, tidak banyak tapi patut disyukuri. Kami pun turun dari panggung dengan perasaan bangga dan senang. Walaupun teman kami, Rizki tidak sempat menjadi juara, setidaknya Aku dan kawan-kawanku mendapatkan keseruan dan kesenangan dalam mengikuti lomba ini.

Read more...

ARUTALA

By: Yasmin Najah Rania

 

              Arshaka najendra sosok yang selalu dipandang sempurna oleh teman temannya  namun siapa sangka di balik itu semua ia menyimpan luka yg begitu dalam di karenakan tekanan dari orang orang terdekatnya tak terkecuali orang tuanya. Sejak kecil hidupnya sudah diatur ia merasa bahwa hidupnya ini seperti robot yang sudah terprogram oleh system. Namun ia selama ini hanya diam dan selau berpikir bahwa ini yang terbaik untuk nya.

 

Kini ia sudah berusia 15  tahun yang artinya ia akan duduk di bangku sma, namunn saat ia ingin berpedapat untuk masuk sma pilihannya ia ditolak dengan alasan pilihanya itu tidak baik untuknya. Ia dipaksa untuk masuk sma pilihan orang tua nya, awalnya ia menolak karena sekolah itu cukup jauh dari tempat tinggalnya.

 

Mansion najendra

“shaka sini” panggil anindya ibu dari arshaka.

Shaka yang merasa terpanggil ia bergegas menuju arah suara itu berasal

“iya ada apa ma” jawab shaka.

“duduk dulu” ucap arsendra papa arshaka.

Duduk.

“ kenapa ma pa kok kayak serius banget gitu” tanya nya.

 “kamu sudah ketemu mau sma dimana?” lanjut nindya.

Sontak shaka membeo mendengar ucapan dari mamanya tersebut

“ha mama seruis nanya itu?” gumam nya.

“ma pa, emang kalo misalnya aku bilang mau sma dimana, kalian setuju?” tanya nya.

Setelah beberapa menit ia berucap seperti itu tak ada satu pun yang bersuara.

“ma pa aku lagi nanya loh kok diam aja sih” ucapnya memecah keheningan.

“tinggal jawab aja mau dimana, untuk urusan setuju atau gak nya papa sama mama diskusi dulu tapi inget ya papa gk mau sekolah yang kamu pilih itu penuh dengan anak brandalan, nanti kamu bisa tertular gk waras”ucap endra penuh penekanan.

“alah bulshit banget” gumam shaka.

“rencananya sih aku mau di estungkara high school ma pa” jawab nya.

“oh sekolah sebrang” ucap nindya.

“ iya ma” ucapnya.

“ papa gk setuju,kamu lupa kasus yang terjadi bulan lalu, papa gk mau kamu jadi seperti itu, papa tegaskan sekali lagi kamu itu satu satunya penerus najendra group” tegasnya.

“nah kan gue kata juga apa, jadi dari tadi Cuma basa basi doang gitu”batin shaka berucap.

“ papa sudah tentukan kamu sekolah dimana, kamu papa masuk kan ke annoria high school” sambung papanya.

“APAAA” penuturan papa nya itu sontak membuat kaget pasalnya sekolahnya ini terlalu jauh dari rumahnya.

“papa serius?”kaget shaka.

“emang papa keliatan bercanda gitu?”tanya endra.

“papa yang bener aja dong itu jauh pa”tawar shaka.

“lah emang kenapa kalo jauh, toh itu sekolah fav di kota ini, lulusanya juga gk main main, contohnya papa” pedenya.

“mulai lagi pedenya”kesal shaka.

“tapi jauh pa” tolak shaka.

“papa gk nerima penolakan, ini tuh yang terbaik buat kamu,TITIK” ucap endra penuh penekanan di kata terakhir.

“tapi pa”ujar shaka.

“ARSHAKA NURUT AJA BISA” tegas nindya yang dari tadi hanya menyimak.

Shaka yang mendengar penturan dari nindya pun sontak terkejut, bukan karena ia di bentak melainkan ibunya ini sosok yang cuek dan gak pernah mau tau soal anaknya namun kini?.

Kemudian ia berlari meninggalkan kedua orang yang masih memasang wajah marah tersebut.

 

Di kamar shaka.

 

Kini ia sedang duduk di ranjang dengan kig bed nya dan kini berada di sebuah ruangan dengan nuansa abu abu

“kapan sih gue bisa nentuin pilihan gue sendiri, terlepas dari kejadian bulan lalu, mereka sadar gk sih gak semua orang seperti itu, toh kalau pun mereka bandingkan dengan peringkat di kota ini juga masih tinggian sekolah sebrang (estungkara high school menduduki peringkat ke dua dan annoria high school menduduki peringkat  ke empat di kota ini), memang annoria  high school pandai menutupi masalah padahal kan (sebenarnya shaka sudah mengetahui bagaimana keadaan asli sekolah pilihan orang tuanya itu, bukan hoax namun ini kenyataan nya jika  dibandingkan dengan masalah yang terjadi bulan lalu di estungkara  high school justru annoria high school lebih parah bahkan memakan korban jiwa) andai mereka tau yang sebenarnya terjadi pasti mereka gak akan milih di situ, huhh mau bagaimana lagi, gue gk boleh membanatah keputusan mereka ntar gue jadi malin kundang lagi, sayang dong wajah gantengku, hahaha” monolong shaka.

Karena bosan shaka membuka aplikasi music bewarna hijau di alat komonikasi genggam nya.

 

Bohongi hati – mahalini

Aku tersiksa

Melihat semuanya berubah

Mengapa

Kau tak mau tau

Bagaimana hati ini tanpamu

Cintamu

 

Oh dimana aku bisa temui dirimu

Yang dulu cinta

Dan anggap aku ada

 

Jika kau meminta aku menjauh

Hilang dari seluruh memori indahmu

Kan kulakukan semua walau tak mungkin sanggup

Bohongi hatiku

Ha ah ah ah

 

Ha ah ha wo ho oh

dimana aku bisa temui dirimu haa

Yang dulu cinta

Dan anggap aku ada

 

Ohh jika kau minta ak…..

BRAAKK

“SHAKAAA kenapa kamu nyanyi nyanyi gk jelas gitu hah, harusnya kamu tuh belajar papa sudah biayain sekolah kamu mahal mahal malah jadi kayak gini, MATIKAN MUSIKNYA SE- KA- RA- NG” ucap endra dengan nada tinggi.

“pa sekarang tuh hari libur, otakku juga butuh libur, gk melulu belajar belajar terus, pa ingat aku manusia pa, aku juga butuh istirahat, ok selama ini aku nurut apa yang papa mau, aku bahkan selalu nolak saat temen temen ngajak aku keluar, itu demi siapa? Demi mama sama papa, terus apa salahnya sekarang aku nyari hiburan ku sendiri, apa salah pa, ha?” ucap shaka dan tanpa sadar pipinya pun sudah basah oleh air mata yang selama ini ia tahan.

Mendengar penuturan dari anaknya pun endra ikut merasakan sesak di dadanya, hingga pada akhirnya ia pun ikut meneteskan air matanya.

“apa gue sekeras itu sama shaka” batin endra.

Namun bukannya meminta maaf ia justru meninggalkan endra sendiri.

“lah kok di tinggal” binggung shaka.

 

Disisi lain…….

 

“gimana pa?”tanya nindya.

“hmm ma kita keterlaluan ya?” tanya endra kepada istrinya, dan nindya hanya membals dengan ekspresi kebingungan.

“ma tadi……

Flashback on….

BRAAKK

“SHAKAAA kenapa kamu nyanyi nyanyi gk jelas gitu hah, harusnya kamu tuh belajar papa sudah biayain sekolah kamu mahal mahal malah jadi kayak gini, MATIKAN MUSIKNYA SE- KA- RA- NG” ucap endra dengan nada tinggi.

“pa sekarang tuh hari libur, otakku juga butuh libur, gk melulu belajar belajar terus, pa ingat aku manusia pa, aku juga butuh istirahat, ok selama ini aku nurut apa yang papa mau, aku bahkan selalu nolak saat temen temen ngajak aku keluar, itu demi siapa? Demi mama sama papa, terus apa salahnya sekarang aku nyari hiburan ku sendiri, apa salah pa, ha?” ucap shaka. dan tanpa sadar pipinya pun sudah basah oleh air mata yang selama ini ia tahan.

Mendengar penuturan dari anaknya pun endra ikut merasakan sesak di dadanya, hingga pada akhirnya ia pun ikut meneteskan air matanya.

 

“ma kita minta maaf yuk, kita mulai dari awal” ujar endra.

“iyaaa pa, ayoo” ajak nindya.

Lalu mereka berdua pun pergi ke kamar shaka.

 

Tokk tok

“shaka buka pintunya dulu”pinta nindya

“shaka buka nak”pinta endra

“mending papa sama mama pergi deh shaka mau sendiri, shaka gk mau di ganggu”tegas shaka

“shaka buka yaa sayang, mama mohon” pinta nindya

Seolah terhipnotis, shaka pun membuka pintu kamarnya, setelah pintu terbuka….

Grepp

Shaka terkejut karena mama dan papa nya langsung memeluknya ia pun membalas pelukan tersebut.

Read more...

THE APPROACHING OF PROKLAMASI

THE APPROACHING OF PROKLAMASI

 

8 September 1944 ~

“ Bendera merah putih dikibarkan untuk pertama kali nya sejak kedudukan jepang “

Lalu di kemudian hari, berada di tempat Rumah Dinas Laksamana Maeda beliau adalah PEJABAT PENGHUBUNG ANGKATAN LAUT-DARAT DAI NIPPON

 

Disana lah Laksamana Maeda Bersama Ir. Soekarno dan Muhammad Hatta berdiskusi tentang bentuk negara. Waktu itu Laksamana Maeda menyarankan bentuk negara Indonesia adalah Kerajaan/Monarki. Dan menunjuk Ir. Soekarno sebagai raja dan Muhammad Hatta sebagai perdana Menteri. Ir. Soekarno tidak menyetujui pendapat Laksamana Maeda karena itu mengingkari semangat Nasionalisme.

 

Lalu pada 1 Juni 1945 di Gedung Volksraad, dimana tempat itu sidang BPUPKI merumuskan Dasar negara.

Saat itu ramai orang orang tidak menyetujui dengan rumusan dasar negara dari orang lain. Ramai orang ribut ribut, segala kesiapannya beliau memberanikan diri. Ir. Soekarno maju ke depan mimbar dan berpidato untuk menjelaskan Dasar negara. Dimulai dengan 5 asas, saat itu dasar negara masih tidak berurutan.

“ Butir pertama yakni perikemanusiaan, lalu butir kedua persatuan, lalu butir ketiga kerakyatan yang dipimpin oleh kemusyawaratan, lalu butir keempat keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, butir kelima yaitu hasil kesimpulan ke empat pilar tadi, yaitu bertakwa kepada tuhan yang maha Esa, agar kitab isa saling menghormati satu sama lain” Seru Ir. Soekarno dalam pidato nya.

 Semua orang bertepuk tangan kepada Ir. Soekarno, bahwa pertanyaan dari Dr. Radjiman sudah terjawabkan. Tentang apa dasar negara Indonesia, yaitu PANCASILA.

14 Agustus 1945

 Jepang mengumumkan penyerahan diri tanpa syarat kepada Sekutu. Pengumuman ini disampaikan langsung oleh Kaisar Hirohito melalui siaran radio nasional. Ini menandai akhir Perang Dunia II di Asia dan semakin mendekatkan Indonesia pada kemerdekaan.

 

Kemudian, pada Tanggal 16 agustus 1945

Para pemuda yang merasa tidak puas dengan jawaban Hatta kembali ke markas dan menyiapkan rencana baru, menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Pukul 04.00 dinihari setelah sahur, tanggal 16 Agustus 1945, para pemuda dipimpin Sodancho

Raibnya Soekarno dan Hatta membuat Jakarta panik. Apalagi, pada hari tersebut ada rapat pertama PPKI. Soebardjo yang pada malam sebelumnya turut hadir dalam perdebatan antara Golongan Muda dan Golongan Tua berupaya mencari Soekarno. Ia berkeliling ke beberapa lokasi termasuk markas Jepang namun tidak ada. Dia curiga para pemuda dibalik raibnya Soekarno dan Hatta. Segera ia menghubungi Wikana. Dari Wikana, Soebardjo mendapat info bahwa Soekarno dan Hatta disekap di Rangasdengklok. Pagi itu juga, Soebardjo menuju ke Rengasdengklok.

 

Lalu pada , malam 16 Agustus 1945,

Dalam rapat, Marsekal Terauchi panglima tentara jepang yang bertanggung jawab atas wilayah asia tenggara. Berkata bahwa kemerdekaan Indonesia jatuh pada tanggal 24 Agustus. Tiba tiba Soekarno mencelah tentang pernyataan itu. “ Saya sudah menjalankan semua yang kalian minta.” Ucap Ir. Soekarno dengan nada marah.

 

“ Baik, jika itu yang kalian mau..maka jangan halangi kami dalam memproklamasikan Indonesia.” Dilanjutkan oleh Bung Hatta. Ternyata Jepang telah menyerahkan kedaulatan nya kepada sekutu. Tiba tiba Bung Hatta memukul meja dengan sangat keras di dalam rapat itu,

“ Itulah janji seorang samurai?” tanya Bung Hatta

“ Jika benar, Indonesia akan menunjukan jepang sebagai samurai seja-“

Belum melanjutkan kalimat salah seorang prajurit jepang hampir menyerang Bung Hatta dengan katana nya, untung nya diberhentikan oleh Laksamana Tadashi Maeda.

“ Jangan mempermalukan negara kita, kita telah kalah.” Ucap Laksamana Tadashi Maeda dengan menghela nafas nya. prajurit itu langsung menurunkan Katana nya.

 

Malam hari setelah rapat, Ir. Soekarno dan Muhammad Hatta di berangkat kan menuju rumah Laksamana Tadashi Maeda. Mereka terkejut dan Laksamana Tadashi Maeda berkata dia akan menunjukan sebagai janji seorang samurai.

Saat ingin memasuki rumah nya. Ternyata seluruh anggota PPKI sudah berkumpul.

 

Laksamana Tadashi Maeda mengarah kan Ir. Soekarno, Muhammad Hatta dan Achmad Soebarjo ditempatkan ruangan yang lebih kecil dari ruangan para pemuda yang di tempatkan. Mereka bertiga akan menuliskan naskah Proklamasi.

 

Disini lah Ir. Soekarno, Muhammad Hatta merumuskan naskah Proklamasi….

Masing masing dari ketiga tokoh itu memunculkan pendapat mereka untuk naskah proklamasi dengan sebaik sebaik nya.

Pemuda pemuda yang di depan ruangan kecil itu tengah menunggu mereka, sehingga mereka sampap tertidur. Di sisi lain Fatmawati ( Istri Soekarno ) tengah menjahit bendera Kebangsaan kita. Bendera Merah Putih….

 

Apakah kalian tau sejarah bendera Merah Putih Indonesia?

Warna merah dan putih pada bendera sebenarnya telah digunakan sejak zaman kerajaan. Kerajaan pertama ialah Majapahit yang berpusat di jawa timur yang menjadikan bendera merah putih sebagai lambing kebesarannya pada abad ke-13. Warna merah keberanian dan putih melambang kesucian.

 

Kita Kembali menuju cerita….

Setelah membuat naskah proklamasi, Ir. Soekarno membacakan naskah tersebut di depan para pemuda pemuda, kemudian diserahkan tulisan tangan naskah tersebut ke pengetik naskah Proklamasi. Sayuti Melik yang mengetik teks naskah proklamasi, beliau sampai berkali kali mengetik sampai banyak kertas yang berhamburan di lantai.

 Tak lama setelah itu, setelah naskah teks Proklamasi selesai. Lalu diserahkan Kembali ke Ir. Soekarno dan Muhammad Hatta…

Dan ditandatangani oleh Ir. Soekarno dan Muhammad Hatta, dibawah tulisan “ Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05 Atas nama bangsa Indonesia Soekarno, Hatta “

 

Di pagi hari nya, Jusuf Ronodipuro merupakan salah satu tokoh yang berperan dalam menyiarkan berita proklamasi kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia. Beliau juga bekerja sebagai wartawan di stasiun radio Hosokyoku di Jakarta.

 

Pada detik detik proklamasi dibacakan, semua warga masyarakat berkumpul di rumah Ir. Soekarno yang berlokasi di Jalan pegangsaan Timur No. 56, Jakarta Timur. Sayangnya detik detik menjelang Proklamasi, Ir. Soekarno terlihat sedang tidak enak badan.

Para pemuda dan warga masyarakat sudah menunggu di depan rumah kediaman Ir. Soekarno….

Kemudian datanglah Muhammad Hatta dengan kendaraan mobil nya di kerumunan warga.

 

Dengan segala dukungan dari sahabat beliau Muhammad Hatta, Ir. Soekarno menyatakan siap dengan segala jiwa raganya.

 

Detik detik menuju proklamasi dibacakan, beliau keluar dari kediaman nya dengan segala kesiapan untuk membaca naskah proklamasi….

Beliau juga didampingi oleh Muhammad Hatta.

Tepat pada pukul 10.00 pagi, Naskah teks proklamasi dibacakan…

PROKLAMASI

KAMI BANGSA INDONESIA DENGAN INI MENYATAKAN KEMERDEKAAN INDONESIA. HAL HAL JANG MENGENAI PEMINDAHAN KEKOEASAAN D.L.L. DISELENGGARAKAN DENGAN TJARA SAKSAMA DALAM TEMPO JANG SESINGKAT SINGKATNJA.

DJAKARTA, HARI 17 BOELAN 08 TAHOEN 05

ATAS NAMA BANGSA INDONESIA, SOEKARNO HATTA.

Suara asli Ir. Soekarno direkam oleh salah satu radio Republik Indonesia.

Pada waktu itu Bendera Indonesia juga dikibarkan untuk pertama kalinya.

Seluruh rakyat berbahagia, mereka mengibar ngibarkan bendera Indonesia dengan rasa terbebas dari apapun.

Dari sini kita banyak belajar dari setiap peristiwa yang terjadi, berusaha mementingkan kemenangan sendiri adalah kekalahan sejati. Kemerdekaan tidak bisa diraih dengan dengan cara seperti itu. Kita akan catat di dalam hati kita, untuk masa depan rakyat kedepan nya.

 

Alivia zikranaya

Siswa SMP

 

Read more...

Surat Sang Prajurit

5 Juli, 1938.

 

“Ikut...berperang?”

“Iya, aku berencana untuk ikut berperang membela tanah air kita. Bagaimana menurutmu?” Dari dalam sebuah ruangan terdengar suara dua orang yang sedang berbicara. Yang jika didengar lebih teliti lagi, maka yang berbicara adalah seorang wanita dan pria. “...Kamu..kamu yakin?” Suara halus tadi kembali berbicara. “Aku yakin. Sangat yakin.” Mendengar jawaban semangat itu, sang puan hanya bisa menghela nafasnya dan tersenyum kearah sang wira. “Yasudah jikalau kemauanmu begitu. Aku tak akan melarangmu, Sagara.” Nama lelaki yang sedang berbicara dengannya sekarang—Sagara. Putra Sagara.

 

“Tapi kamu janji akan...kembali ke dekapanku, kan?” Sagara tersenyum lalu memeluk erat sang wanita tercintanya. “Tentu saja. Aku pasti akan kembali dengan bangga padamu. Cahya-ku.” Cahya—atau dengan nama asli Drisana Cahyaningrum—memeluk Sagara kembali. “Baiklah kalau begitu. Aku akan menunggumu disini.” Cahya tersenyum kecil. Sedangkan Sagara menganggukkan kepalanya pelan.

 

“Jadi...kapan kamu akan berangkat? Dan kira-kira kapan kamu akan kembali?” Cahya kembali bertanya. Sagara tampak ragu untuk menjawab, tapi kemudian ia menjelaskan, “Rencananya, aku akan berangkat dua minggu lagi. Tentang kira-kira kapan aku akan pulang....” Sagara menggelengkan kepalanya pelan. “Aku tak tau dengan pasti. Maafkan aku.”  

 

Mendengar penuturan itu, senyum di wajah Cahya semakin menghilang. Ia pasti akan menangis jika saja Sagara tidak segera memeluknya dan berkata, “Kau tidak perlu khawatir, karena aku adalah orang terkuat di desa, bukan?” Ia berucap dengan suara lantang dan jenaka, kebiasannya sejak dulu jika ia sedang gugup. Tangan Cahya mencengkram punggung dari orang terkasihnya itu, berharap bisa menahan Sagara untuk berada tetap di pelukannya. Namun keputusan suaminya sudah bulat, ia akan pergi dua minggu lagi, dan pulang entah kapan. Mungkin juga ia tidak akan kembali.

 

Pikiran untuk melanjutkan hidup tanpa Sagara disisinya semakin mengganggu Cahya. Air matanya tidak dapat ditahan lagi, dan isak demi isakan keluar dari antara dua jiwa itu. Menahan mereka untuk menahan satu sama lain lebih lama lagi.

 

Sagara mengusap ujung kepala Cahya dengan lembut. “Jangan khawatirkan aku. Aku pasti kembali untukmu.” Tangis Cahya mereda secara perlahan. Cahya menganggukkan kepalanya. Melihat itu Sagara tersenyum dan melepaskan dekapannya pada tubuh Cahya. “Bagaimana jika ku kirimkan surat untukmu tiap hari? Agar kamu tau bagaimana kabarku di medan perang nanti.”

 

“Tentu. Aku akan dengan senang hati menerima semua suratmu.” Cahya terkekeh sembari menghapus air matanya yang sempat mengalir dengan deras tadi. “Kalau begitu, ayo mulai kemas-kemas barang yang akan kamu bawa nanti.” Cahya tersenyum kepada Sagara.

 

 

19 Juli,1938.

 

2 minggu telah berlalu dengan cepat bagi Sagara dan Cahya. Tidak terasa, tapi hari itu adalah hari di mana Sagara akan pergi meninggalkan Cahya untuk pergi berperang. Pasangan suami-istri itu sedang berjalan berdampingan menuju pintu depan rumah mereka. Tidak ada yang bersuara, hingga mereka sampai tepat di depan pintu masuk utama.

 

“Jadi..aku berangkat ya?” Sagara bertanya dengan kekehan kecil sembari memutar balikkan tubuhnya untuk melihat sang terkasih lebih jelas. Cahya hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum simpul. Hatinya terasa sangat berat untuk melepaskan Sagara pergi. Ia takut jika Sagara tidak akan kembali ke sisinya setelah perang usai. Tapi apa daya, Keputusan suaminya sudah bulat. Dan Cahya tak akan pernah bisa melarangnya untuk ikut terjun ke medan perang.

 

Tak mendengar jawaban apa pun dari Cahya, Sagara mengulum senyum kecil di bibirnya lalu memeluk sang puan secara tiba-tiba. Perlakuan Sagara tadi membuat Cahya terkejut meskipun hanya sedikit. “Sampai jumpa, istriku Drisana Cahyaningrum. Do’a kan agar aku selamat ya.” Sagara membisikkan kalimat tadi tepat di depan telinga Cahya. Membuat Cahya tak bisa membendung air mata yang sejak tadi ia tahan. Isak demi isakan kecil mulai terdengar dari kedua insan yang sedang berpelukan itu. Sagara terkekeh. Ia mengusap punggung Cahya perlahan, mencoba menenangkan sang wanita yang sekarang tengah menangis dipelukannya.

 

“Kamu pasti kembali kan?” Ditengah-tengah suara isakan tadi, Cahya bertanya kepada Sagara. Meskipun Ia tau ia sudah menanyakan hal ini berulang-ulang kali, tapi ia yakin Sagara tak akan pernah bosan untuk menjawab pertanyaannya yang satu ini. Dan jawaban yang Sagara lontarkan selalu sama, “Tentu saja. Tunggu aku pulang ya?” Dekapan Sagara makin mengencang. Ia sebenarnya juga tak tega meninggalkan istrinya sendirian dirumah. Tapi ia tetap harus pergi.

 

Lima menit telah mereka habiskan untuk berpelukan, merasakan kehangatan satu sama lain untuk yang terakhir kalinya sebelum Sagara pergi. Dengan sangat perlahan Sagara melepaskan pelukannya dari tubuh Cahya. Karena ia tau bahwa ia harus segara berangkat. Meskipun ia sendiri masih merasa tak puas berpelukan dengan wanitanya.

 

Cahya tersenyum dan berkata, “Kamu pasti bisa. Aku yakin kamu pasti bisa kembali dengan selamat. Dan,” Cahya mengangkat tangan kanannya dan menangkup pipi Sagara. “Jangan lupa untuk mengirimkanku surat. Tolong jaga kesehatanmu ya.” Sagara kerkekeh. Ia melepaskan telapak tangan Cahya yang terletak di pipinya lalu mundur selangkah. Ia berlutut layaknya seorang prajurit kepada Cahya sambil berujar, “Baiklah, yang mulia ratu. Akan hamba usahakan. Dan sang prajurit ini berjanji untuk pulang dengan selamat ke sisi anda, Ratuku.” Sagara mengucapkan kalimat tadi dengan nada yang tegas. Layaknya seorang prajurit jika sedang berhadapan dengan atasannya. Cahya tertawa pelan, merasa sedikit terhibur dengan ucapan Sagara. “Jaga dirimu baik-baik. Jangan lupa untuk makan dan istirahat dengan teratur, jaga kesehatanmu juga. Kamu mengerti istriku?” Diakhir kalimat yang ia lontarkan, Sagara menggunakan nada jenaka. Mencoba agar perpisahan ini tak hanya diisi dengan kesedihan dan tangis.

 

Cahya tersenyum lalu mengangguk. “Tentu saja.” Mendengar itu Sagara ikut tersenyum kearah Cahya. Ia mulai berjalan melewati pekarangan rumahnya. Namun, selang beberapa langkah dari pintu depan rumah mereka, Sagara membalikkan badannya kembali. Hal itu tentu saja membuat Cahya bingung. “..Ada barang yang tertinggal kah?” Cahya memiringkan kepalanya kesamping. Melihat reaksi itu, Sagara hanya terkekeh dan menggelengkan kepalanya. “Ada sebuah kalimat yang belum kuucapkan. Dan hal itu adalah,”

 

“Sampai jumpa, Cahyaku.” Dengan begitu Sagara langsung membalikkan badannya dan mulai berjalan kembali. Jauh dan semakin menjauh. Hingga bayangannya tak tertangkap oleh mata Cahya sama sekali.

 

30 November 1938.

 

Sudah hampir lima bulan Sagara pergi berperang. Meninggalkan Cahya sendirian dirumah mereka. Hari-hari selalu Cahya lewati dalam sunyi dan sepi. Biasanya selalu ada Sagara yang membantunya atau hanya sekedar bertukar kata dengannya. Namun, semua itu hanya bisa ia kenang sekarang. Cahya tau bahwa ini pasti terjadi. Sendirian dirumah, tanpa ada yang mengajaknya berbicara ataupun membantunya membersihkan rumah.

 

Cahya menghela nafasnya. Ia meletakkan sapu yang ia pegang ke dinding lalu duduk di tempat tidur miliknya dan Sagara. Ia melihat ke sekeliling kamarnya. Hanya ada dirinya disini, tak ada orang lain. Sunyi adalah hal yang selalu menemaninya sejak Sagara pergi. Kembali ia lihat cerminan wajahnya di cermin besar yang terletak di meja. “Wajahku tidak berubah sama sekali...hanya saja—” Cahya menangkup kedua pipinya sendiri. Memperhatikan bentuk wajahnya dengan lebih detail. “Kantung mataku semakin menebal ya.” Cahya menghela nafasnya lagi. Memang akhir-akhir ini ia sering sekali kesulitan untuk tidur. Kelopak mata miliknya seperti melarang Cahya untuk tertidur lebih awal. Bukan akhir-akhir ini sebenarnya, namun sejak dua bulan yang lalu. Cahya juga tidak tau kenapa, tapi sebelum tidur ia selalu merasa cemas akan sesuatu. Terkadang Cahya berpikir bahwa rasa cemasnya ini ada kaitannya dengan Sagara. Ia berpikir bahwa rasa cemas ini terjadi karena pikirannya tentang Sagara yang tak akan kembali, atau lebih buruk lagi—Sagara telah meninggal. 

 

Cahya menepis semua pikiran negatif tentang kemungkinan yang terjadi pada Sagara dan memutuskan untuk merebahkan tubuhnya di tempat tidur yang sekarang ia duduki. Cahya melihat kearah langit-langit kamarnya. Tanpa ia sadari perlahan-lahan kelopak matanya mulai tertutup. Sampai akhirnya terdengar suara dengkuran halus dari kamar yang ia tempati sekarang.

 

14 Juli 1940.

 

Hari ini berjalan seperti biasanya bagi Cahya. Tak ada yang special meskipun tepat dua hari lagi adalah ulang tahunnya yang ke 22. Ia sedang melakukan rutinitas paginya sekaranng. Seperti membuka jendela depan agar udara di dalam rumahnya tidak terlalu panas, dan menyapu halaman sekaligus menyiram bunga yang ada dipekarangannya.

 

Setelah selesai dengan rutinitas paginya, Cahya segera masuk kembali ke dalam rumahnya. Lagipula, tak ada yang bisa ia lakukan lagi diluar. Saat didalam, Cahya segera mengecek jam yang terletak dimeja tempat pajangan-pajangan fotonya. Jam 10.00 alias tepat jam sepuluh pagi. “Aku masih ada waktu untuk beristirahat sejenak sepertinya. Pekerjaanku juga sudah selesai...” Tanpa pikir panjang, Cahya segera berjalan kearah kamarnya, berencana untuk mengambil sedikit waktunya untuk tidur sejenak.

 

Tok tok tok..

 

Baru saja Cahya sampai di kamarnya, ia tiba-tiba mendengar suara ketukan pintu. Dengan segera Cahya berjalan cepat—sedikit berlari mungkin—ke bagian ruang tamu. Jantungnya berdegup dengan kencang. Sebenarnya Cahya sendiri juga bingung kenapa jantungnya berdegup tak karuan setelah mendengar suara ketukan pintu tadi. Apa mungkin karena Cahya berpikir bahwa  yang mengetuk pintunya tadi adalah Sagara? Mungkin saja. Saat sampai di depan pintu, Cahya segera membuka pintunya dan hampir saja mengucapkan nama Sagara jika saja orang yang mengetuk pintunya itu tidak langsung menyapanya.

 

“Selamat siang, nona. Apa benar ini dengan nona Drisana Cahyaningrum?” Cahya terdiam ditempat. Ada sedikit perasaan kecewa dalam diri Cahya dikarenakan ternyata yang mengetuk pintunya tadi bukanlah Sagara. Melainkan seorang pria berumur sekitar tiga puluh lima sampai empat puluh-an yang sedang membawa sebuah surat ditangannya. “Nona? Nona, apa anda mendengar saya? Apa perlu saya ulangi?” Lamunan Cahya seketika buyar, ia bahkan tidak menyadari bahwa ia telah terdiam dan melamun semenjak orang itu berbicara padanya.

 

“Ah..maafkan saya. Sejenak saya kira yang mengetuk pintu rumah saya tadi adalah suami saya.” Cahya menundukkan kepalanya malu. Tapi memang apa yang telah ia ucapkan adalah kenyataan. “Jika anda berkenan, mungkin anda bisa mengulangi perkataan anda barusan.” Pria itu tersenyum. “Tentu saja nona. Saya tadi hanya bertanya, apa benar nama anda adalah Drisana Cahyaningrum?” Sang pria menguangi kalimatnya yang tadi tak didengar oleh Cahya. Mendengar itu, Cahya segera menganggukkan kepalanya. “Kalau begitu.. surat ini untuk anda. Nona Drisana.” Pria itu menjulurkan surat yang sedari tadi ia pegang. Surat dengan warna coklat dan sedikit lusuh. Tanpa ragu, Cahya segera mengambil suratnya dan seketika terkejut saat membaca nama sang pengirim surat itu.

 

“Tugas saya disini telah selesai. Kalau begitu, saya akan pergi sekarang. Sampai jumpa nona.” Dan dengan begitu pria tadi pergi. Dan Cahya langsung masuk kedalam rumahnya. Tak sabar untuk membaca surat pertama yang dikirimkan oleh Sagara.

 

Hatinya sangat  menggebu-gebu untuk membaca surat yang yang dikirimkan oleh suaminya ini. Sudah dua tahun sejak Sagara pergi. Dan baru kali ini Cahya menerima surat darinya. Tentu saja hal itu membuat Cahya sangat tak sabaran untuk mengetahui bagaimana keadaan Sagara sekarang. Tanpa basa-basi lagi, Cahya segera membuka surat itu dan membacanya dengan sangat perlahan.

 

Untuk sang laksmiku di rumah.

 

Jika adinda menerima surat ini, maka aku telah tiada. Aku tau kamu sudah mencoba untuk menghalangiku agar tidak ikut di medan perang ini. Tetapi, jika bukan aku lantas siapa? Siapa yang akan membela negara kita?

Maaf, aku sepertinya tak bisa menepati janjiku padamu Cahyaku. Aku ingin, tapi takdir berkata sebaliknya.

Aku sudah mengirimkan beribu-ribu surat kepadamu, tapi tampaknya adinda satu ini tidak pernah membalasnya ya? semoga saja semua surat-surat itu sampai dengan selamat ke tanganmu.

 

Namun, aku harap surat yang satu ini tak akan pernah terkirim kerumah kita. Melainkan aku yang akan sampai dengan selamat lalu mendekapmu dengan sangat erat. Tapi apa daya? Jikalau engkau sudah membaca semua ini. Berarti aku sudah tidak ada.

 

Cukup sampai disini saja isi suratnya, Cahyaku. Aku harap kita bisa bertemu kembali suatu saat nanti. Tot we elkaar weer ontmoeten, mijn licht. Sampai jumpa lagi, sayangku

 

—Dari prajurit yang senantiasa mencintaimu. P. Sagara 

 

Senyum di wajah Cahya memudar setelah membaca seluruh isi surat tadi. Tanpa ia sadari, air mata meluncur begitu saja di pipinya. Tapi Cahya sama sekali tak memiliki niat untuk memberhentikan tangisannya sekarang. Seketika kepalanya terasa seperti terombang-ambing. Kepalanya pusing, dan ia langsung jatuh terduduk begitu saja dengan memegang erat surat dari Sagara yang baru saja ia baca.

 

“Yang benar saja...tidak tidak tidak. Ia pasti kembali. Sagara sudah berjanji padaku bahwa ia akan kembali dengan bangga. Apa ini..” Kembali ia baca surat itu dengan lebih teliti lagi. Namun, isinya tetap sama. Tak ada yang berubah. Hatinya terasa seperti ditusuk beribu-ribu pisau. Rasa cemasnya sekarang benar-benar terjadi. Cahya mencoba untuk berdiri, tapi gagal. Ia mencoba berdiri sekali lagi, tapi kali ini dengan bersandar pada tembok sebagai tumpuannya. Namun hasilnya tetap gagal. Ia kembali terduduk lemas di lantai. Kepalanya terasa amat sangat berat. Sampai akhirnya, Cahya memutuskan untuk menyerah dan beristirahat disana saja.

 

***

 

Kini hari-hari Cahya terasa semakin sepi. Harapan untuk bertemu dengan Sagara kembali dan melanjutkan hidup dengannya sudah pupus sejak ia mendapatkan surat dari sang wira tiga bulan lalu. Sering sekali Cahya tampak diam termenung menatap surat dan foto-foto lama Sagara yang ia punya. Cahya tau ia harus mulai merelakan kepergianya, tapi hatinya tak bisa. Tak jarang juga Cahya menangis secara tiba-tiba sebelum ia tidur. Kehilangan Sagara sangat berdampak padanya. Tapi ia juga harus menepati janjinya pada Sagara untuk tetap menjaga kesehatannya.

 

Sore ini, kembali ia baca surat pemberian Sagara. Sudah puluhan kali—atau mungkin ratusan—Cahya membaca suratnya, sampai-sampai ia hafal mati dengan isi dari surat itu. Bahkan, terkadang Cahya tampak berbicara kepada angin kosong. Padahal hal yang sedang ia lakukan adalah membalas surat dari suaminya itu secara lisan.

 

Namun, seketika dahi Cahya berkerut dikala ia menyadari sesuatu ketika membaca beberapa kalimat yang tertera didalam sang surat. ‘Aku sudah mengirimkan beribu-ribu surat kepadamu, tapi tampaknya adinda satu ini tidak pernah membalasnya ya? semoga saja semua surat-surat itu sampai dengan selamat ke tanganmu.’  Cahya kembali membaca ulang kalimat tadi, sekarang dengan lebih perlahan. Terutama dibagian, ‘Aku sudah mengirimkan beribu-ribu surat kepadamu.’

 

“Apa maksudmu dengan telah mengirimkan beribu-ribu surat padaku..Sagara?” Kerutan di dahi Cahya makin terlihat dengan jelas. Ia bingung luar biasa sekarang. Pasalnya, seingat Cahya ia tak pernah menerima satu pun surat dari Sagara—kecuali surat yang ia dapatkan tiga bulan yang lalu.

 

22 Juni 1946. 

 

Sudah enam tahun sejak Cahya mendapatkan satu surat terakhir hari Sagara. Ia sudah mulai menjalani kehidupannya seperti biasa. Bahkan, tampaknya Cahya sudah merelakan kepergian Sagara. Seperti sore ini, Cahya sudah menyelesaikan semua pekerjaan rumahnya yang sempat tertunda. Ia sekarang tengah duduk dihalaman depan rumahnya sembari menyesap secangkir teh hangat. Semilir angin yang cukup sejuk berhasil menerbangkan beberapa helaian rambutnya yang panjang itu.

 

Sekarangpun Cahya sibuk menikmati keindahan taman yang ada didepannya saat ini, sampai-sampai ia tak mendengar suara langkah kaki yang mulai mendekat kearahnya.

 

“Permisi, nona Drisana.” Mendengar namanya dipanggil, Cahya segera menoleh kearah sampingnya. Sejenak Cahya memperhatikan wajah dari pria yang tadi memanggil namanya. Wajahnya tampak familier bagi Cahya. Ia tampak berpikir sejenak, Cahya sangat yakin jika ia pernah melihat wajah pria ini. Tapi ia lupa dimana tepatnya.

 

Pria paruh baya itu tampak tersenyum kearah Cahya. “Nona pasti merasa familier dengan wajah saya. Apa tebakan saya benar?” Pria itu terkekeh, sedangkan wajah Cahya tampak sedikit terkejut karena tebakan pria itu benar. “Saya adalah orang yang mengirimkan sebuah surat kepada anda sekitar..enam tahun yang lalu.” Dan dengan kalimat itulah Cahya akhirnya mengingat kenapa wajah pria ini tampak familier baginya.

 

“Berarti anda kemari karena ingin memberikan sebuah surat yang dikirimkan untuk saya. Benar?” Cahya bertanya kepada sang pria lalu terkekeh pelan. Sang pria memberikan anggukan sebagai respon atas pertanyaan Cahya. “Benar sekali. Namun, kali ini surat yang ingin saya berikan kepada anda bukan hanya satu saja. Melainkan, puluhan surat.” Wajah Cahya tampak terkejut untuk sepersekian detik saja.

 

“Puluhan surat.. untuk saya?” Tanya Cahya. Ia tak percaya dengan ucapan sang pengirim surat yang sekarang sedang berdiri tepat dihadapannya. “Benar sekali nona. Saya disini bertugas untuk mengantarkan puluhan surat yang tertuju pada Drisana Cahyaningrum. Dan orang itu adalah anda.” Pria itu mengeluarkan tiga map besar bewarna coklat dan menyerahkannya kepada Cahya. “Silahkan nona. Semua surat ini ditujukan kepada anda.”

 

Dengan perlahan-lahan Cahya menerima tiga lembar map besar itu. Dan setelah yakin bahwa map itu selamat sampai di tangan Cahya, sang pria langsung saja pamit undur diri. “Kalau begitu, saya akan pergi sekarang nona.”

 

***

 

Sudah tiga hari sejak Cahya menerima puluhan surat dari seseorang. Tapi sampai sekarang ia masih belum berani untuk membuka surat-surat itu sama sekali. Ada sedikit perasaan takut yang menghantuinya. Tapi sebagian dirinya juga penasaran, siapa nama dibalik pengirim puluhan surat-surat itu.

 

Cahya menghela nafasnya. Ia sudah membulatkan keberaniannya untuk membuka atau sekedar membaca nama dari sang pengirim surat. “Ayo Cahya. Kamu pasti bisa. Apa yang kamu takutkan?”

 

Cahya berjalan kearah meja dimana map berisi surat-surat itu ia letakkan. Sejenak terlintas dipikiran Cahya untuk membukanya besok saja. Tapi ia segera menepis pikiran itu. “Ayu Cahya. Membaca beberapa surat tak akan membunuhmu, Cahya.” Cahya sedang mencoba untuk meyakinkan dirinya lagi. Kembali ia tarik nafas dalam-dalam, sebelum ia hembuskan dengan perlahan. Tangannya mulai meraih map coklat itu. Dan jari-jemarinya bekerja untuk membuka ikatan pada map coklat itu. Dan hal pertama yang ia sadari ketika melihat surat itu adalah nama sang pengirim. Matanya membulat sempurna.

 

“...Putra Sagara..? Surat surat ini dikirim oleh...Sagara?” Dengan tergesa Cahya mulai mengeluarkan tiap surat yang ada didalam map coklat yang sedang ia pegang sekarang. Entah kenapa, ia merasakan secerah harapan setelah membaca nama dari sang pengirim surat itu. Cahya memperhatikan surat-surat itu dengan lebih seksama. Sampai ia melihat sebuah angka yang tertulis di bagian ojok kiri atas paad setiap surat. “Ini pasti tanggal saat Sagara membuat surat ini...”

 

Cahya segera mengurutkan tanggalan yang ada pada surat-surat itu. Dan surat dengan tanggalan paling lama ialah surat dengan kode angka 30/07/1938. Bulan yang sama saat Sagara baru pergi untuk berperang. Tanpa pikir panjang, Cahya membuka surat itu dan membacanya perlahan.

 

30/07/1938.

 

Halo istriku. Bagaimana kabarmu? Maaf aku baru bisa menuliskan surat ini sekarang. Aku benar-benar sibuk dengan masalah disini. Oh, sepertinya sampai disini dulu saja isi suratnya. Sampai jumpa di lain surat, Cahyaku.

 

—P.Sagara

 

Setelah membaca kalimat terakhir dari surat pertama, Cahya membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan dari Sagara di dalam surat tadi. “Kabarku baik, Sagara. Bagaimana denganmu?” Cahya terkekeh mendengar penuturannya sendiri. Cahya melipat surat pertama tadi lalu langsung mengambil surat kedua untuk ia baca selanjutnya.

 

05/08/1938.

 

Cahyaku, hari ini aku hampir saja tertembak peluru. Tapi, tentu saja aku selamat. Sudah kubilang, kamu tidak perlu mengkhawatirkan aku. Aku ini pria terkuat di desa kita. Baik, sampai disini dulu suratnya.

 

—dari suami tercintamu yang hampir tertembak tadi.

 

Cahya bingung ia harus bereaksi seperti apa sekarang. Ia khawatir saat membaca kalimat dimana Sagara hampir tertembak peluru. Namun, ia juga ingin tertawa saat membaca nama pengirim yang Sagara tulis diakhir surat. Cahya melipat surat yang baru saja ia baca lalu mengambil satu surat random dari tumpukan surat-surat miliknya itu.

 

12/01/1939.

 

Tak terasa ya, tapi sudah tujuh bulan kita terpisah. Sepertinya aku mulai meridukanmu..dan aku yakin kamu pasti juga merindukanku. Tenang saja. Aku pasti kembali.

 

Oh iya, hari ini kami berhasil menghancurkan salah satu benteng musuh. Hebat bukan? Tentu saja, lagipula ada aku yang membantu mereka. Haha, aku hanya bercanda.

 

—dari prajurit bernama P.Sagara.

 

Cahya tak bisa menahan rasa bangganya pada Sagara sekarang. “Hebat sekali. Tentu saja semua itu bisa tercapai karena adanya kamu disana.” Cahya tertawa ketika mendengar penuturannya barusan.

 

***

 

Sudah hampir satu jam lebih Cahya duduk sembari membaca dan menanggapi satu persatu surat yang dikirim oleh Sagara. Yang tak Cahya sadari ialah bagaimana raut wajahnya berubah berkali-kali setiap ia membaca satu surat. Terkadang ia akan tertawa, lalu tiba-tiba ia akan cemas dan khawatir. Puluhan surat sudah ia baca. Hingga sampailah ia pada dua surat terakhir. Senyum pada wajah Cahya mulai pudar disaat ia melihat bahwa surat yang belum ia baca hanya tersisa dua. “Hanya tersisa dua surat ya..”  Dengan sangat perlahan Cahya mulai membaca surat dengan nomor kode 05/05/1940.

 

05 Mei 1940.

 

Rencana kami gagal. Banyak diantara kami yang gugur, bahkan tak sedikit juga yang mengalami luka berat. Tempat persembunyian kami juga sudah diketahui oleh mereka. Dan ternyata, ada salah seorang dari kami yang bekerja sama dnegan musuh. Sungguh keterlaluan.

Maaf, sepertinya surat ini tak akan terlalu panjang. Aku harus segera bergerak kembali sampai jumpa.

 

—P.Sagara.

 

Seketika itu juga jantung Cahya berdegup dengan sangat kencang. Rasa cemasnya meningkat. Hanya tersisa satu surat lagi. Dan Cahya tak mungkin tidak membaca surat yang terakhir. Cahya menarik nafasnya terlebih dahulu. Mencoba menetralkan degup  jantungnya yang tak karuan. “Satu surat lagi Cahya. Hanya satu..” Cahya mengangkat surat dengan kode angka 28/06/1940. Dengan perasaan berat ia mulai membuka surat itu dan membacanya.

 

28 Juni 1940.

 

Kami benar-benar gagal. Semuanya telah gugur. Hanya tersisa diriku dan pimpinan kami. Namun, sepertinya keberntungan sama sekali tidak berpihak pada kami. Aku dan pimpinan kami terpisah. Namun aku sudah menitipkan sesuatu untukmu padanya. Sepertinya ini akan menjadi surat terakhirku...Sampai jumpa. Aku mencintaimu, selalu.

 

—Prajurit Bernama P.Sagara.

 

Tanpa Cahya sadari, air mata lolos begitu saja melewati pipinya tepat ketika ia selesai membaca surat terakhir yang ditulis oleh Sagara. Cahya menangis. “Begitu rupanya...aku bangga padamu, Sagara. Sungguh. Aku sangat bangga padamu. Lihatlah sekarang. Negara kita sudah merdeka. Jasamu akan selalu dikenang.” Cahya berusaha sekuat tenaga untuk menunjukan senyum terbaiknya. Ia harus tetap tegar. Sama seperti Sagara yang selalu tegar disetiap situasi. “Aku harap kamu tenang sekarang, Sagara.”

 

***

Read more...

“Maaf, bu…”

Gadis kecil itu hampir menangis, mata coklatnya berkaca-kaca, sekuat tenaga dia tahan bulir air mata yang hendak jatuh, terus menahan diri, bertahan, menarik napas panjang, kemudian perlahan dia hembuskan perlahan, berpacu dengan waktu, harus segera dia sudahi “drama” kesedihan ini.  Kemudian dia mencoba tersenyum dan perlahan bangkit dari kursinya, berdiri dengan gagah, berjalan dengan tegap, maju ke depan kelas, menunduk, mengambil buku tulisnya yang sengaja dilempar oleh guru matematikanya. Dengan hormat dia datangi gurunya, seraya berkata dengan sopan : “maaf bu, besok bukunya saya ganti yang baru”. Sang guru hanya mengangguk dan berkata ; ya , tanpa sedikitpun menoleh pada si gadis kecil yang sekali lagi berusaha sekuat tenaga agar bulir air matanya tidak jatuh menetes di pipi. Dan waktu berjalan begitu saja, hari itu murid-murid kelas V-A sedang sibuk mengerjakan soal matematika dan bahasa indonesia yang tiap hari menjadi menu wajib anak-anak yang sedang mempersiapkan diri mengikuti ujian akhir setahun kemudian.

Intan namanya, gadis kecil dengan bando merah, rambut lurus sedikit bergelombang dengan panjang sebahu, di pergelangan kirinya melingkar jam tangan kulit warna maroon hadiah dari kakeknya. 2 hari yang lalu, guru matematika sekaligus wali kelasnya berkata kepada murid-muridnya agar menyiapkan satu buku tulis baru, khusus untuk buku ulangan. Ya, buku ulangan. Karena rencananya tiap hari akan ada ulangan khusus mata pelajaran matematika dan bahasa Indonesia, agar murid-murid terbiasa dengan soal-soal ujian akhir saat kelas VI nanti, tentu saja diharapkan agar murid-murid mampu meraih nilai terbaik dan berhasil masuk sekolah manapun yang diinginkan. Waktu itu Intan hanya memiliki satu buku kosong yang sebenarnya tidak benar-benar kosong, sudah terpakai 2 lembar bagian depannya. Buku tersebut disampul rapi oleh Intan, sampul coklat kemudian dilapisi sampul plastik, namun 2 lembar buku yang sudah terpakai tidak disobek, melainkan dijadikan satu dengan sampulnya, sehingga jelas terlihat jika buku tersebut bukan buku baru. Hal itulah yang mungkin memicu kemarahan guru matematikanya, karena instruksi beliau jelas : siapkan satu buku tulis baru. Nah, buku tulisnya Intan tidak baru, sudah terpakai 2 lembar. Intan sama sekali tidak membantah, bahkan tidak marah, meskipun bukunya dilempar begitu saja di depan 38 murid yang lain. Intan hanya malu, karena diperlakukan seperti itu oleh gurunya, hanya kesalahan sepele, hanya karena 2 lembar buku yang tak disobek agar seolah-olah tampak baru. Mengapa saat itu intan tidak beli buku tulis yang baru?jelas karena tidak ada biaya, tidak mudah membeli satu buku tulis baru diluar buku tulis yang sudah terbeli pada awal tahun ajaran baru. Sebenarnya bisa saja Intan meminta pada orang tuanya agar membelikan satu buku tulis yang baru, untuk keperluan pendidikan pasti akan diutamakan. Namun Intan tidak berpikir sejauh itu, gadis 10 tahun itu berpikir bahwa yang penting bukunya masih bisa dipakai, hanya terpakai 2 lembar, masih ada 36 lembar yang kosong dan siap digunakan, untuk apa beli buku yang baru. Ternyata apa yang dipikirkan gurunya tidak sama dengan apa yang dipikirkan Intan, dimata gurunya mungkin anak ini tidak mematuhi perintah guru. Intan malu, sungguh benar-benar malu hingga hampir menangis, namun Intan teringat perkataan ayahnya 2 tahun yang lalu: “jangan menangis, karena menangis itu tidak pernah menyelesaikan masalah”.

Pada akhirnya Intan membeli buku tulis yang baru, dia membelinya sendiri, menggunakan uang jajan tambahan yang kadang diberikan oleh kakeknya. Intan tidak bercerita apapun kepada kedua orang tuanya, karena bagi Intan kejadian itu sudah cukup menyesakkan dada, tidak sanggup dia ceritakan pada orang lain, meskipun itu pada kedua orang tuanya. Intan tidak punya kakak dan tidak mungkin pula dia bercerita pada kedua adiknya yang baru berusia 5 dan 2 tahun. Apakah setelah membeli buku tulis yang baru masalah berhenti begitu saja?oh tidak, Intan harus berusaha memerangi perasaannya sendiri, setiap melihat guru tersebut, terbayang lagi kejadian “terbang” nya buku tulis miliknya di depan kelas, setiap pelajaran matematika dia pun teringat ekspresi wajah gurunya saat menerbangkan buku tulisnya, padahal setiap hari dia harus bertemu dengan guru matematika sekaligus wali kelasnya tersebut. Akibatnya pelajaran matematika sempat tersendat lama untuk bisa masuk ke dalam otaknya, meskipun hanya berupa penjumlahan bilangan negatif dengan bilangan positif begitu sulit masuk pada otaknya, karena dia benci guru tersebut, dia benci mengapa tak pernah ditanya baik-baik perihal bukunya yang tidak baru, dia benci diperlakukan seperti itu. Namun gadis kecil itu teringat, dia harus berhasil masuk SMP Negeri, dia harus bersekolah minimal sampai perguruan tinggi, karena pendidikan terakhir ayahnya adalah D-3. Ya, gadis berusia 10 tahun itu sudah memiliki target dan cita-cita yang jelas, bahwa dia ingin bersekolah hingga menjadi sarjana, dan yang paling penting, dia tidak pernah mengganti cita-citanya. Dari dulu dia ingin menjadi seorang guru.

Mengapa Intan ingin menjadi seorang guru?Karena dia melihat sosok ayah dan ibunya. Ibunya lulusan SPG (Sekolah Pendidikan Guru, setingkat SMA di masa itu), sementara ayahnya pernah menjadi guru SMP serta guru mengaji di masjid. Intan suka melihat koleksi buku-buku ayahnya yang digunakan untuk mengajar, dari mulai buku geografi, fisika, biologi, hingga buku menggambar. Bukan hanya suka, tapi intan juga membaca buku-buku tersebut meskipun tidak tahu persis apa makna di dalamnya. Bermodalkan keinginan yang kuat untuk bisa jadi sarjana, Intan harus memerdekakan diri dari belenggu kebencian pada gurunya, tidak mudah, namun perlahan akhirnya Intan mampu bertahan di kelas V dengan prestasi yang cukup baik. Dia naik ke kelas VI dan pada akhirnya berhasil masuk SMP yang diinginkan. Apakah kisah Intan berhasil memerdekakan diri dari belenggu apapun terhenti saat intan di SMP?ternyata tidak, masih ada kisah lainnya yang cukup menguras emosi, hampir menyurutkan langkah Intan untuk meraih cita-citanya.

“Mbak, ada apa kamu kok rame saja!!!”, Intan terkejut, sedikit ragu, apakah dia yang dimaksud. “iya kamu mbak, kamu yang berjilbab!!!”, akhirnya Intan benar-benar sadar, bahwa yang dimaksud guru PMP itu adalah dirinya. Dengan sopan intan berkata : “iya bu, tugas saya sudah selesai, ini teman minta diajarin bagaimana mengisi LKS nya”. Guru tersebut semakin marah : “gak usah sok pintar kamu mbak, pakai ngajarin teman segala!!!”. Intan hanya terdiam membisu, tidak lagi menjawab perkataan gurunya. Membetulkan posisi duduknya yang tadinya menghadap kebelakang, duduk dengan posisi yang benar di bangkunya, diam saja, tanpa melakukan apapun, tanpa berkata apapun namun pikirannya bekerja maksimal, banyak tanda tanya di kepalanya. Salahku dimana?salahku apa?apa ngajarin teman itu salah?kan aku sudah selesai, apakah aku salah bila mengerjakan LKS itu di rumah?kan mudah, tinggal mencari jawabannya di buku bagian depan, sudah ada semua jawabannya disitu, tinggal disalin saja. Lalu mengapa aku dibilang sok pintar?Aku mengerjakan LKS itu sendiri, tidak meminta bantuan pada siapapun. Aku ngajarin teman juga benar-benar diajarin, bukan langsung memberi tahu jawabannya, ngajarinnya ya dengan cara memperjelas kalimat pertanyaan sehingga temanku lebih mudah mengerti, lantas dimana letak kesalahanku???. Bukankah dengan aku ngajarin teman malah memudahkan guruku, karena berkurang tugas guruku dalam mengajar anak itu, lantas dimana letak kesalahanku sesungguhnya???Demikian banyak tanda tanya yang ada di kepala intan. Hanya dia simpan sendiri, tidak dia ceritakan pada temannya, karena memang pada dasarnya Intan enggan bercerita apapun kepada siapapun. Kalaupun bercerita, dia hanya bisa berbagi kebahagiaan, seluruh kesedihan dan gundah gulana biasa dia curahkan pada buku hariannya.

Pelajaran PMP di SMP kelas 1 berlangsung seminggu 2 kali, artinya Intan harus bertemu dengan guru yang sama selama 8 kali dalam satu bulan, dan kurang lebih 80 kali dalam setahun (anggap saja dalam setahun ada 10 bulan efektif untuk kegiatan belajar mengajar). Tentu saja Intan tetap harus mengikuti pelajaran PKN dengan baik apabila dia ingin nilai raportnya bagus, dan tentu saja dia wajib mengikuti alur kegiatan belajar mengajar sesuai kemauan gurunya yang tidak suka apabila Intan mengajari teman. Dalam hati Intan berkata : baiklah, dulu masalah dengan guru matematika SD bisa kulewati, maka saat ini dengan guru PMP juga harus mampu kulewati. Aku harus tetap fokus belajar bagaimanapun kondisinya, aku ingin nilai raportku bagus, aku ingin peringkatku bagus. Tentu saja tidak mudah bagi remaja 12 tahun itu, kalimat sok pintar masih saja terngiang-ngiang di otaknya. Berulang kali Intan membujuk dirinya sendiri dengan berkata dalam hati : Aku memang pintar, bukan sok pintar, sambil tersenyum sinis karena masih tidak terima dibilang sok pintar oleh gurunya. Intan berhasil melewati kelas 1 SMP nya dengan mendapatkan peringkat 5, 7, dan 3 (kala itu, sekolah dibagi dalam catur wulan, satu catur wulan terdiri dari 4 bulan. Sehingga dalam setahun ada 3 kali terima raport). Di kelas 2 dan 3 juga dilewati Intan dengan lancar, bahkan di kelas 3 Intan berhasil mendapatkan peringkat 1 dari 40 siswa. Sesuatu hal yang sudah sangat lama dicita-citakannya. Pada akhirnya Intan berhasil masuk SMA yang sesuai dengan keinginannya, dan diterima di perguruan tinggi negeri pada pilihan pertama. Dia juga berhasil mencapai cita-citanya yaitu menjadi seorang guru, bukan hanya guru, melainkan guru matematika. Jelas dia masih ingat guru matematika yang pernah membuatnya sempat membenci matematika, guru matematika yang sempat menyurutkan langkahnya untuk menjadi murid terbaik. Intan juga masih ingat dengan guru PMP nya dengan kalimat sok pintar tersebut. Namun Intan mampu berdamai dengan masa lalu, mampu memerdekakan dirinya sendiri dengan melepaskan belenggu kebencian, mampu memerdekakan diri dengan pengambilan keputusan yang tepat untuk tetap fokus belajar, menjadi murid terbaik dan mengabaikan faktor lainnya yang tidak terlalu penting.

 

 

 

    Oleh : Aisah Rachmawati-Guru Matematika SMP

 

Read more...

Arti Kemerdekaan

Kalila Izza Abdillah 

 

Kemerdekaan adalah kondisi suatu daerah atau negara yang memiliki kebebasan, dimana pemerintahannya memiliki hak mengatur bangsanya sendiri tanpa ada ikut campur dari pihak asing. Tidak mudah bagi Indonesia berhasil sampai ke titik merdeka, Indonesia berjuang selama beratus-ratus tahun untuk meraih kemerdekaan. Jasa para pahlawan akan selalu dikenang karena sosoknya yang sangat berharga dan berperan penting dalam kemerdekaan Indonesia, seluruh tumpah darah, keringat, dan perjuangan secara fisik maupun non-fisik sangatlah berpengaruh bagi Indonesia.

Dahulu, Indonesia sangat susah untuk bersatu, karena masih banyak yang bersikap kedaerahan. Sikap kedaerahan adalah adanya golongan di suatu daerah yang hanya mempedulikan golongan itu sendiri. Sikap ini sangat berbahaya di masa penjajahan, karena masyarakat Indonesia menjadi gampang terpengaruh dan terpecah belah akibat Devide et Impera atau taktik politis adu domba dari penjajah. Pada masa penjajahan, Indonesia juga sangat kurang dalam hal pertahanan, senjata yang digunakan masih sangat tradisional, kalah dengan penjajah yang sudah sangat maju dan memiliki senjata yang canggih. Belanda menjadi negara yang paling lama menjajah Indonesia, selama sekotar 350 tahun penjajah dari Belanda terus menerus datang dan mencoba menguasai Indonesia. Selain Belanda, ada beberapa negara lain yang juga menjajah indonesia, seperti Jepang, Inggris, Portugal, dan lain lain.

Sumber daya alam Indonesia yang kaya akan rempah-rempah menjadi alasan kuat bagi pihak asing untuk menjajah Indonesia. Mereka bisa dengan mudah merampas atau membujuk warga Indonesia agar mendapatkan apa yang mereka mau. Pada masa kolonial Belanda, masyarakat Indonesia mengikuti sistem kerja rodi atau kerja paksa, seperti membangun jalan raya Anyer-Panarukan, mambuat benteng, membangun pangkalan angkatan laut, dan lain lain. Terkadang masyarakat yang mengikuti kerja rodi mendapat upah sangat sedikit bahkan tidak mendapat upah sama sekali, semua itu dilakukan agar bisa bertahan hidup.

Usaha masyarakat Indonesia untuk merdeka tidak berhenti sampai disana saja, masih banyak yang perlu di perjuangkan. Sumpah Pemuda yang dibacakan pada 28 Oktober 1928 menjadi salah satu bukti bahwa masyarakat Indonesia sudah bersatu, pelan-pelan sikap kedaerahan yang dimiliki masyarakat Indonesia sudah hilang. Ideologi masyarakat pada masa ini sangatlah baik, mereka berpikir walaupun berbeda ras, suku, dan keyakinan bukanlah suatu halangan bagi mereka untuk bersatu. Setelah belasan tahun mencoba untuk bangkit, Jepang mengakui kekalahannya.

Pada tanggal 14 Agustus 1945, terjadi penculikan Soekarno-Hatta ke rengasdengklok yang dilakukan oleh golongan muda dengan tujuan menjauhkan Soekarno-Hatta dari pengaruh Jepang. Golongan tua berusaha membujuk golongan muda untuk melepaskan Soekarno-Hatta dengan jaminan akan segara dibacakan proklamasi kemerdekaan. Indonesia berhasil mengumumkan kemerdekaannya lewat Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, proklamasi diikrarkan di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, pada 10.00 WIB. Namun, masih banyak yang belum bisa menerima akan kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 19 September 1945, berkibar bendera Belanda di Hotel Yamato yang menimbulkan kemarahan warga Surabaya.

Dilakukan rundingan antara Soedirman dan Victor Willem Charles Ploegman untik menurunkan bendera Belanda, namun hasilnya nihil. Terjadilah peristiwa perobekan warna biru pada bendera Belanda yang berkibar di Hotel Yamato tersebut. Setiap pribumi yang berusaha memanjat sedikit demi sedikit untuk merobek bendera akan ditembak mati oleh golongan dari Belanda. Banyak tumpah darah dan keringat yang dikeluarkan oleh para pahlawan. Mereka berhasil merobek bendera

Belanda dan menyisakan bendera berwarna merah dan putih. Tidak berhenti sampai disana, kedatangan AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) pada tanggal 25 Oktober 1945 juga menjadi faktor utama terjadinya peristiwa 10 November. Kematian jenderal A.W.S. Mallaby menimbulkan ultimatum penyerahan senjata yang disebarkan di Surabaya melalui selebaran, dengan ancaman jika tidak diserahkan maka sekutu akan menghancurkan Surabaya. Namun hal tersebut ditentang oleh warga Surabaya, mereka lebih memilih untuk melakukan perlawanan. Bung Tomo membangkitkan semangat seluruh masyarakat Indonesia dengan pidatonya yang disiarkan melalui radio tempat ia bekerja.

Pertempuran dimulai pada tanggal 10 November 1945 hingga 28 November 1945, sekitar 150.000 jiwa meninggal di Surabaya, Inggris berhasil memukul mundur para pejuang. Karena peristiwa tersebut, 10 November ditetapkan sebagai hari pahlawan hingga saat ini. Masih banyak peristiwa lain terkait perjuangan masyarakat untuk meraih kemerdekaan, maka dari itu mari menjaga seluruh fondasi yang telat para pahlawan bangun untuk Indonesia. Tidak harus dengan bertumpah darah ataupun keringat, dengan senantiasa menghilangkan pengaruh buruk dari pihak asing sudah termasuk dalam menjaga kemerdekaan.

Di zaman sekarang, banyak masyarakat Indonesia yang kurang peduli dengan sejarah, mereka lebih memilih untuk sekadar mengetahui, tidak untuk menjaga. Banyak dampak buruk yang terlihat di Indonesia akibat adanya pengaruh budaya asing, jarang sekali masyarakat Indonesia mau mengingat atau mempelajari tentang sejarah kemerdekaan Indonesia, walau seharusnya itu adalah hal yang penting.

Menjaga kemerdekaan Indonesia bisa dilakukan lewat hal-hal kecil, seperti menjaga nama baik Indonesia, menyaring budaya asing yang masuk ke Indonesia, mempelajari sejarah Indonesia, dan masih banyak lagi. Lomba yang ada pada tanggal 17 Agustus dalam memperingati dirgahayu Indonesia juga bisa termasuk dalam salah satu cara menjaga kemerdekaan Indonesia. Masyarakat Indonesia harus lebih sadar terhadap keadaan warga Indonesia yang kurang bisa memilah pengaruh budaya asing yang masuk. Kita sebagai warga yang cinta akan negaranya harus bisa berubah menjadi lebih baik dan lebih peduli terhadap keperluan negara. Semua bisa dilakukan secara perlahan, bisa dimulai dari merubah pemikiran negatif terhadap Indonesia, berusaha untuk membangkitkan semangat juang antarwarga, dan kurangi hal-hal yang mampu memecah belah kesatuan seperti rasisme dan lain sebagainya.

Toleransi sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Penerapan Pancasila sebagai dasar negara juga bisa menjadi kunci utama dalam menjalin keakraban sesama. Apabila sudah menerapkan toleransi dan nilai pancasila dalam kehidupan, Indonesia pasti bisa menjadi negara yang lebih baik dari sebelumnya, masyarakat Indonesia akan lebih mudah untuk memahami apa arti kesatuan dan persatuan yang sesungguhnya. Jangan jadikan perbedaan sebagai bahan untuk merusak kesatuan, seharusnya, karena perbedaan itulah masyarakat Indonesia dapat mempelajari banyak hal baru yang bisa dijadikan landasan dalam bersosialisasi. Seluruh perjuangan yang telah kita bangun pasti membuatkan hasil apabila kita tahu cara mempertahankannya. Hilangkan sikap indivualisme, karena itu sangat berpengaruh dalam perpecahan kesatuan Indonesia. Mari kita coba untuk menurunkan ego dan memandang ke arah yang lebih luas.

Terapkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai pemikiran pokok agar bisa menghargai segala perbedaan yang ada. Jangan menyia-nyiakan perjuangan pahlawan dan semua fondasi yang telah mereka bangun, kita harus bisa berjuang dengan sekuat tenaga yang kita miliki untuk senantiasa menjaga keutuhan negara Indonesia. Dengan berjuang Bersama-sama Indonesia akan menjadi satu negara yang utuh dalam kesatuan dan persatuan tanpa dapat diganggu gugat oleh pihak manapun.

Read more...

URGENSI NILAI – NILAI KEMERDEKAAN UNTUK DICONTOH GENERASI MUDA

Oleh : lutfiadi[1]

 

Tidak terasa bangsa Indonesia pada tahun  2023 ini genap merayakan kemerdekaan 78 tahun. Tema yang diangkat dalam kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 2023 ini adalah “ Terus melaju untuk Indonesia maju” tentu tema ini merefleskikan semangat bangsa Indonesia untuk terus melanjutkan perjuangan pembangunan, berkolaborasi bersama memanfaatkan momentum untuk menjadikan Indonesi lebih maju.

Dengan kemerdekaan yang sudah cukup lama, maka kita sebagai rakyat Indonesia harus tetap menjaga keutuhan persatuaan, toleransi serta semangat juang dalam melanjutkan perjuangan para pahlawan kita yang sudah berkorban merebut kemerdekaan ini dari tangan penjajah, kita juga harus memberikan pemahaman yang benar tentang makna dan nilai-nilai kemerdekaan bagi generasi muda sehingga mereka bisa mengambil pelajaran penting dari perjalanan perjuangan para pahlawan dalam merebut kemerdekaan ini dari tangan penjajah.

Kita tahu bahwa Indonesia merdeka bukan hasil pemberian apalagi mengemis kepada penjajah. Bangsa ini merdeka karena perjuangan semua elemen masyarakat Indonesia dengan semangat yang berkobar rela meninggalkan keluarga, mengorbankan harta, tenaga bahkan nyawa demi mewujudkan cita-cita bangsa yaitu kemerdekaan.

Lalu, apakah generasi muda sekarang mengerti tentang makna dan nilai-nilai kemerdekaan?  atau mereka hanya menjadikan kemerdekaan sebagai simbol perayaan saja ketika tanggal 17 agustus tiba dan melupakan nilai-nilai penting kemerdekaan?. Berikut ini ada beberapa nilai – nilai penting kemerdekaan yang harus diketahui oleh generasi muda lalu dijadikan referensi untuk melanjutkan perjuangan para pendiri bangsa dan pahlawan Negeri ini, kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat , berbangsa dan bernegara.

Kemerdekaan butuh perjuangan

Kemerdekaan yang kita nikmati sekarang ini tentu bukan didapatkan secara mudah dan santai melainkan dari hasil perjuangan yang panjang dan pengorbanan jiwa dan raga dari para pejuang serta mendapatkan keridhaan dari Allah subhanahu wa ta’ala . Sebagai generasi muda tentu harus memahami bahwa tidak ada sebuah kemerdekaan tanpa adanya perjuangan dan pengorbanan, artinya untuk meraih sebuah cita-tita yang tinggi itu butuh proses, untuk meraih puncak kejayaan itu butuh waktu yang lama, usaha yang keras, doa dan keyakinan. Maka janagn pernah penangisi atas kehialngan sesuatu yang kamu tidak pernah perjuangkan. Hidup ini adalah perjuangan dan harus diperjuangkan, sempurnakan usaha dengan doa kemudian menunggu hasil dengan kesabaran.kemerdekaan bukan akhir dari perjuangan, kita harus menjaga apa yang telah ditinggalkan oleh para pahlawan yang telah gugur memperjuangkan kemerdekaan.

Melibatkan Allah dalam segala hal

Dalam pembukaan UDD 45 alenia ketiga berbunyi, “ atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesiamenyatakan kemerdekaan.”  Makna alenia ketiga UUD 45 ini mengandung motivasi spritual, yaitu kesadaran dan pengakuan bahwa kemerdekaan Indonesia bukan hanya hasil perjuangan rakyat semata, namun juga karena rahmat Tuhan. Ini merupakan pelajaran penting bagi generasi muda bahwa mereka harus melibatkan Allah dalam setiap urusannya.

Sebagai contoh dari pahlawan  Kemerdekaan Republik Indonesia ini adalah Jendral Sudirman. Beliau merupakan sosok pemmimpin TNI pertama kali yang kuat agamanya. Jendral Sudirman dikenal dengan sosok yang rajin berpuasa .Disampng  itu, ia tidak pernah meninggalkan shalat di tengah kondisi apapun dan selalu menjaga wudhunya. Begitu juga dengan Bung Tomo , pada 10 November 1945 ketika terjadi pertempuran di Surbaya. Melalu pidatonya , “ Dan kita yakin saudara-saudara . Pada akhirnya kemenangan akan jatuh kepada kita, sebab Allah selalu ada dipihak yang benar. Percayalah saudra-saudara tuhan akan melindungi kita sekalian . Allahu Akbar ! Allahu Akbar ! Allahu Akbar !  Merdeka !!!. seruan takbir Bung Tomo disatu sisi mengagungkan nama Allah untuk memohon kekuatan dari Allah dan menyemangati rakyat.

Oleh karena itu, sebagai generasi muda didalam malakukan aktifitas, berjuang mengejar cita-cita dan kesuksesan harus melibatkan Allah,. kenapa harus melibatkan Allah dalam segala urusan kita? Jawabannya karena kita adalah manusia biasa yang hanya merencanakan dan berusaha, sekalipun permasalahan yang sangat banyak, sampai kadang kita tidak mampu melewatinya dan menyerah mencari jalan keluar, maka hanya Allah ayang akan memberikan petunjuk dan mempermudah urusan kita. Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa ketika Rosululloh shallallahu alaihi wa sallam menasehati pemuda yaitu Abdullah bin Abbas Radiyallahu anhuma  agar selalu mengingat Allah, meminta hanya kepada Allah , selalu mengingat Allah diwaktu luang maupun sempit.

Pantang menyerah mengejar cita-cita

Mengejar cita-cita adalah keharusan bagi kita, di masa lalu cita-cita mulya rakyat Indonesia adalah merdeka dari penjajahan . Untuk mencapai cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia ini,  para pahlawan dan masyarakat Indonesia tidak pernah menyerah dan putus asa menghadapi para penjajah walaupun mereka berbekal senjata seadanya, namun semangat dan percaya diri meraih kemerdekaan sangat tinggi. Mereka sadar untuk meraih sebuah cita-cita yang luhur akan ada banyak cobaan, ujian bahkan goncangan, sama halnya ketika kita ingan meraih surga yang dijanjikan oleh Alllah.

أم حسبتم أن تدخل الجنة ولم يأتكم مثل الذين خلوا من قبلكم مستهم البأساء والضراء وزلزلوا حتى يقول الرسول والذين أمنوا معه متى نصر الله الآ إن نصر الله قريب

Artinya : Apakah kamu mengira kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaima orang-orang terdahulu sebelum kamu ? mereka ditimpa oleh malapetka dan kesengsaraan serta digoncangkan (denagan bermacam-macam cobaan ) sehingga berkata Rasul an orang-orang yang beriman bersamanya: bilakah datang pertolongan Allah?” Ingatlah, sesunggunya pertolongan Allah sangat dekat. (QS: al-baqarah ayat 214)

Sementara, cita-cita Bangsa Indonesia sekarang adalah bagaimana menciptakan poros ekonomi yang kuat di dunia, membangun peradaban, mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Patut dijadikan contoh Bagi generasi muda sekarang bagaimana kesungguhan dan semangat para pejuang kemerdekaan yang tidak kenal menyerah dan putus asa. Generasi muda sekarang jangan melupakan sejarah. Generasi muda harus tetap semangat menjaga dan merawat keutuhan persatuaan bangsa ini, jangan biarkan para penghianat menguras kekekayaan Bangsa ini, jangan biarkan para pengacau yang luarnya manis tapi dalamnya busuk merongrong pesatuan dan kesatuaan bangsa ini. Tetap berjuang walaupaun tidak mengangkat senjata. Tetap suarakan kebenaran dengan lantang walaupun itu pahit .

 

Menumbuhkan rasa saling menghargai dan menghormati

Bagi generasi muda yang harus diperhatikan dan dijadikan pedoman dari nilai-nilai kemerdeaan di dalam berbangsa dan bernegara adalah menumbuhkan rasa saling meghargai dan menghormati. Sebagai generasi muda harus menghargai jasa-jasa pahlawan yang berjuang meraih kemerdekaan ini.  Sebagai bentuk implementasi dari nilai-nilai kemerdekaan bagi generasi muda yang hidup di zaman sekarang adalah meghargai dan penghormati perbedaan yang ada di Indonesia ini, perbedaan Agama, suku dan Ras dalam bermasyarakat dan bersosial.

 

 

Terima Kasih

 



[1] Guru PAI dan Bahasa Arab SMA AL_IRSYAD

Read more...

BENARKAH NEGERIKU TELAH MERDEKA?

Kumpulan awan hitam bersatu diatas langit yang kelam tanpa senyuman sang mentari. Jeritan langit-langit mulai berkumandang dikedua telinga kecilku. Namun semua itu tak menggoyahkan tanganku untuk turun berhenti menghormati sang saka merah putih. Ya, hari ini adalah hari dimana sang pertiwi sedang merayahkan ulang tahunnya, hari kemerdekaan Indonesia.

 

     Ditengah lapangan yang cuacanya tak lagi ramah, sang saka merah putih perlahan demi perlahan dikibarkan dengan iringan lagu Indonesia raya. Kunyanyikan bait demi bait lagu, kuhanyutkan diri dalam melodi nada,  kututup netraku yang perlahan meneteskan air matanya, kuukirkan senyum ditengah nuansa 78 tahun indonesiaku merdeka. Tak terbayang oleh anganku, berapa juta liter darah dan keringat tak bersalah yang tumpah selama ratusan tahun dibawah ribuan todongan senjata.

 

     Tahap demi tahap upacara telah terlaksana, hingga pada penutup upacara, para siswa dan para guru mulai dibubarkan. Banyak yang langsung pulang, banyak yang masih mengobrol, bahkan pergi kekantin, banyak juga yang duduk-duduk dilapangan hanya untuk sekedar melepas penat. Sementara aku saat ini sedang mengistirahatkan raga dibawah tempat teduh yang lumayan jauh dari keramaian, hanya ada aku dan 2 siswi lain disini.

 

     Oh ya, sebelumnnya perkenalkan namaku Fatimah Launara Afisya, biasa dipanggil fisya. Gadis berlesung pipi yang saat ini menginjak usia 17 tahun. Aku kelas 12 semester 1 yang masih sempoyongan berdiri dengan kedua kakiku sendiri

 

“enak ya hidup di luar negeri, terutama London dan Swiss. Negaranya maju, tempatnya bersih, banyak orang-orang berpendidikan lagi, gak seperti di Indonesia”

 

     Sayup-sayup kudengar pembicaraan dari 2 siswi disebelahku. Kualihkan perhatianku dari handphone ke arah mereka. ‘ah, ternyata adek kelas’ batinku setelah kulihat bed mereka yang masih bertulisan angka 11

 

“gak usah diragukan lagi kalau London sama Swiss. Jangan bandingin sama Indonesia, jelas kalah jauh. Sampah ada dimana-mana, banyak pengangguran, korupsi gak habis-habis, banyak orang yang buta huruf dan angka, memang pemerintahan Indonesia gak ada yang becus ” ucap salah satu siswi yang membawa segelas es cokelat yang hampir habis ditangannya. Teman satunya yang memakai kacamata hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan teman disebelahnya  “btw, besok kamu masuk sekolah gak?”

 

“besok kan ada pr matematika sama Bahasa Indonesia ya? Aku bolos aja deh, capek habis upacara tadi. Selain itu juga lagi malas mikir, apalagi ketemu matematika besok”

 

“kalau gitu besok kita ke mall aja yuk, katanya ada event baru besok pagi. Sekarang kita pulang dulu aja, mumpung hujan belum turun. Soal pr nanti kita bisa nyontek yang lain”

 

“Okey deh” mereka mulai beranjak dari tempat duduk mereka. Sebelum benar-benar pergi, salah satu dari mereka membuang gelas es cokelat yang telah habis sembarangan

 

“Dek!!” panggilku dengan sedikit keras

 

     Mereka menoleh kebelakang menatap ke arahku. Aku pun beranjak dari dudukku menghampiri gelas es cokelat yang telah dibuang sembarangan

 

“kalian tahu kenapa London dan Swiss negaranya bersih?” tanyaku pada mereka

 

Mereka memasang wajah bingung dengan sikap tiba-tiba yang kulakukan. Mereka saling pandang sejenak sebelum siswi berkacamata mulai menjawab “tentunya karena pemerintahan mereka yang bagus dan benar-benar memperhatikan kemajuan bangsanya”

 

“benar. Tapi kesadaran masyarakat juga dibutuhkan..” kupungut gelas es cokelat yang ada dibawah kakiku “..untuk membangun sebuah rumah tangga yang bagus dan nyaman untuk ditinggali, perlu adanya kerjasama antara penghuni rumah. Akan berat jika hanya satu pihak yang menjaga kebersihan dan kenyaman, sementara satu pihak lain selalu mengotori dan berbuat semaunya sendiri. Jika seperti itu, bagaimana  suatu negara dapat menjadi negara yang maju?” lanjutku

 

Melihat mereka yang hanya diam termenung, aku kembali bersuara “menurut kalian, mengapa rata-rata masyarakat London dan Swiss memiliki pendidikan yang lebih tinggi dari indonesia?” tanyaku seraya kutatap mata mereka yang sedikit menundukkan kepalanya

 

“karena dibandingkan pergi ke mall, banyak dari mereka yang lebih memilih mengerjakan pr matematika yang lebih sulit. Alih-alih menghindari, mereka lebih memilih untuk menghadapinya sendiri tanpa menyontek yang lain. Alih-alih mengeluh, mengapa kalian tidak mencoba melakukan tindakan untuk membuat Indonesia lebih merdeka dari tanggal 17 agustus 1945? Dengan kita belajar itu sudah meneruskan perjuangan para pahlawan kita. Jangan pernah mengibarkan bendera putih dalam belajar, karena masa depan bangsa bergantung pada generasi muda seperti kalian”

 

     Selesai mengatakan itu, aku beranjak dari hadapan mereka setelah kuserahkan gelas es cokelat yang kupegang tadi ketangan mereka.

 

-----------------

 

     Hiruk pikuk jalanan sang kota pahlawan tak pernah berubah. Hanya saja hari ini lebih banyak bendera merah putih yang berkibar dimana-mana. 78 tahun indonesiaku menghirup udara kemerdekaan, berdiri dan mulai melangkah dengan kedua kakinya sendiri. Bebatuan tak luput pula menyertai jalannya, beberapa kali membuat langkah ibu pertiwi goyah dan terjatuh, namun sedikit pun tak pernah berniat mengibarkan bendera putih pada dunia

 

“hai fisya”

 

Kutolehkan kepalaku kesamping kanan dikala runguku mendengar seseorang menyapa diriku. Seorang Perempuan cantik dengan gigi gingsulnya. Ia adalah seorang relawan di desa-desa terpencil, aku mengenalnya saat diriku menjadi relawan di daerah NTT 5 bulan lalu. Dia bernama Ravella Putri Azzahra, biasa dipanggil dengan Vella

 

“hai juga vel. Kamu sedang apa di Surabaya?” tanyaku. Karena setahuku perempuan tersebut bukan penduduk asli Surabaya

 

“aku sekarang kuliah sambil kerja disini. udah sekitar 3 bulan yang lalu”

 

“ooh, tinggal di daerah mana disini?” basa-basi kami terus berlanjut sambil berjalan ditemani pohon-pohon yang daunnya mulai mongering dan menjatuhkan dirinya

 

     Beberapa langkah telah kami lewati bersama dengan kami yang terus bertukar kabar dari lamanya waktu memisahkan. Tak sengaja netraku menangkap seorang pengemis tua yang ringkih duduk dipinggir jalan sambil mengusap perutnya

 

“melihat nenek pengemis yang menahan perihnya kelaparan di hari Indonesia merayakan kebebasannya, apa arti kemerdekaan yang sebenarnya bagimu? Apakah benar Indonesia sudah benar-benar merdeka?”tanya Vella yang juga menatap pengemis tersebut

 

Aku mulai melangkahkan kaki ke arah nenek tua tersebut. Kutaruh uang 10.000 digelas plastik yang rata-rata berisi uang receh didekat nenek tersebut

 

“Terima kasih nduk sedekahnya, semoga diberi kesehatan dan kelancaran segala urusan yang akan datang” ku aminkan doa yang nenek panjatkan untukku

 

“sama-sama nek”

 

“tadi ada upacara 17 agustusan ya?” tanya nenek padaku, aku pun hanya menganggukkan kepala tanda mengiyakan ucapan si nenek

 

“nanti malam katanya akan ada acara besar-besaran untuk merayakan kemerdekaan Indonesia di alun-alun kota, kamu datang? Tanya nenek lagi kepadaku

 

“insyaallah, iya nek. Nenek sendiri bagaimana?”

 

Jeda beberapa detik, nenek terdiam membisu. Kulihat perlahan nenek mulai tersenyum dan menatap tepat ke arah mataku seraya berkata “tepat hari ini ditahun 1945 para polisi membebaskan ibu pertiwi dari penjara yang dingin dan gelap gulita. Setelah ratusan tahun dibalik jeruji besi yang penuh kekanganan, akhirnya ibu pertiwi dapat menghirup udara kemerdekaan nya. Merah putih berkibar dimana-mana, banyak teriakan dan tangis haru saling bersahut-sahutan. Nenek bahagia saat itu, namun sayangnya nenek yang saat itu berusia 7 tahun tidak memiliki tenaga untuk berlari dan teriak-teriak seperti anak-anak yang lainnya, tenaga nenek saat itu sudah habis untuk menahan perihnya rasa lapar..”

 

Aku terdiam, lidahku kaku tak bisa mengucap kata. Kutatap lembut mata nenek yang mulai berkaca-kaca

 

“Nenek kira saat sorakan ‘MERDEKA’ mengisi pelosok negeri, nenek akan menjalani hidup lebih layak dan tak perlu menahan lapar lagi. Namun nyatanya sebelum dan sesudah merdeka, kelaparan masih nenek rasakan. Lalu apa arti merayakan kemerdekaan untuk orang-orang seperti kami? Bagi rakyat yang setiap harinya tak pernah kenyang, kemerdekaan tak ada bedanya dengan zaman penjajahan. Bukankah mati karena tembakan lebih baik daripada mati secara perlahan karena kelaparan?”

 

     Aku terdiam membisu, rasanya seperti suaraku dipenjarakan secara paksa. Korupsi, kelaparan, pengangguran, kemiskinan, rendahnya pendidikan, dan lainnya, benarkah negeriku ini sudah benar-benar merdeka?

 

     Bagiku tidak, Indonesiaku masih setengah merdeka. 78 tahun usia yang masih dini untuk ribuan pulau dan ratusan juta manusia mengecap arti kemerdekaan yang sebenarnya.

 

     Pondasi dari merdekanya suatu negara berasal dari iman dan ilmu kepintaran yang didapatkannya dari belajar, jangan pernah mengejar kepintaran tanpa keimanan yang menyertai, suatu negara akan hancur dengan penduduk seperti itu.

 

     Perjuangan tak selalu berbentuk darah, jangan pernah berhenti mengejar ilmu dan iman, bahkan disaat tulangmu rasanya akan patah. Karena perjuangan sang pertiwi tidak berhenti pada tanggal 17 Agustus 1945

 

     Kalau menurut kalian? Apa arti kemerdekaan yang sebenarnya?

 

 karya Syifa’ul Ummah

Siswa SMK XII-Keperawatan 1

pemenang lomba menulis kreatif tingkat SMK bertema Kemerdekaan yg diselenggarakan YPAS

Read more...

Guru yang Merdeka Mengajar dengan Cinta

Merdeka dalam mengajar adalah tampak dari keikhlasannya saat menjalankan peran sebagai guru. Menjalankan peran dengan penuh cinta dan ketulusan.

Saat lagi capek-capeknya menghadapi anak-anak yang remidi, tiba-tiba ingat dengan ucapan mbah Moen tentang bagaimana seharusnya seorang guru ketika mendapati anak didiknya yang masih kesulitan belajar.

Jadi guru itu tidak usah punya niat  bikin pintar orang, nanti kamu hanya marah-marah Ketika melihat muridmu tidak pintar. Ikhlasnya jadi hilang. Yang penting niat menyampaikan ilmu dan mendidik yang baik. Masalah muridmu kelak jadi pintar atau tidak, serahkan pada Allah, didoakan saja terus menerus agar muridnya mendapat hidayah.

Memang benar, selama ini ketika ada siswa yang nilainya belum mencapai  KKM, maka kita akan merasa bahwa itu semua adalah kesalahan siswa. Sebagai guru kita telah merasa melakukan yang terbaik, mulai dari penyampaian materi,  pemilihan bobot  soal yang diujikan, maupun segala macam alasan lainnya. Namun pada kenyataannya, tetap saja ada anak-anak yang remidi. Akhirnya kita akan merasa capek dan terkadang marah terhadap si anak, baik itu kita lakukan secara langsung dihadapan si anak, maupun secara diam-diam (terkadang membicarakannya dengan teman sekantor, atau ada juga yang memilih untuk memendamnya dalam hati)

Jika kita menyadari bahwa tugas kita sebagai guru adalah sebatas menyampaikan dan mendoakan, maka niscaya tidak akan merasa kesal dan marah jika masih ada anak yang remidi. Jika saja kita menyadari bahwa mengajar anak-anak yang disertai dengan keikhlasan adalah sebuah ibadah yang memiliki nilai sangat tinggi disisi Allah, maka kita tidak akan merasa rugi saat harus mengulanginya berapa kalipun.

Kalau saja kita meyakini bahwa saat kita melakukan kegiatan belajar mengajar adalah saat dimana para malaikat menggunakan sayapnya untuk memberi naungan bagi kita, seluruh makhluk dilaut dan di bumi berdoa dan memohonkan ampun untuk kita, serta padanan yang Allah berikan kepada kita adalah menimbang tinta-tinta yang kita keluarkan setara dengan darah para syuhada, niscaya tidak akan pernah ada drama dan ungkapan-ungkapan “Haduh….dia lagi….dia lagi….selalu remidi….”

Kembali pada dawuh mbah Moen diatas, tugas guru selain Ikhlas dalam mendidik adalah mendoakan…nah, untuk yang ini kita kerap melalaikannya. Lupa menyertakan nama anak-anak didik kita dalam doa-doa yang kerap kali kita panjatkan. Padahal seandainya kita menyebut mereka dalam doa-doa kita, maka Allah akan bentangkan “tali” yang akan menghubungkan kita dengan si anak, dimana pada gilirannya nanti akan melahirkan sebuah ikatan yang tidak akan lekang walau mereka sudah keluar dari sekolah. Bahkan pada tataran yang lebih jauh lagi, insyaAllah “tali” tersebut akan menjadi salah satu penyebab dientaskannya kita dari neraka, dan ditarik menuju surga Allah. Bisakah kita bayangkan, betapa bahagianya ketika kita sedang menderita di neraka, tiba-tiba ada tangan yang menarik kita, dan setelah kita melihatnya, dia adalah salah satu anak didik kita di dunia.

Ada sebuah kisah yang sangat menarik, dimana jika kita cermati maka kisah ini bisa menjadi pelipur lara ketika sebagai guru maupun orangtua merasa gagal dalam mendidik anak. Kisah indah ini dinukil dari manusia terbaik dan  guru terhebat sepanjang masa, Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam, yang disajikan dengan sangat indah oleh Salim A. fillah dalam Lapis-Lapis Keberkahan.

Suatu saat Aisyah bertanya kepada Rasulullah “ Wahai Rasulullah, peristiwa apa yang menurut engkau lebih berat daripada perang Uhud?” lantas Rasul menjawab, bahwa dakwah beliau ke Thoif adalah sebuah peristiwa yang jauh lebih berat bagi beliau disbanding perang Uhud.

“ Aku pergi dengan kegundahan dalam hati, hingga tiba di Qarn Ats-Tsa’alib. Ketika kuangkat kepalaku, maka tampaklah Jibril memanggilku dengan suara yang memenuhi ufuk. “Sesungguhnya Rabb mu telah mengetahui apa yang dikatakan dan diperbuat kaummu terhadapmu. Maka Dia mengutus malaikat penjaga gunung ini untuk kau perintahkan sesukamu”

“Lalu malaikat penjaga gunung menimpali “ya Rasulallah, ya Nabiyallah, ya Habiballah, perintahkanlah, maka aku akan membalikkan gunung Akhsyabain ini agar menimpa dan menghancurkan mereka yang telah ingkar, mendustakan, menista, mengusir dan menyakitimu”

Dan lihatlah jawaban yang keluar dari lisan yang mulia. Padahal Allah sudah menawarkan hal yang sangat menggiurkan untuk melampiaskan rasa kecewa yang membuncah di dada. Jawaban yang sungguh tidak akan mungkin keluar dari manusia biasa.

“ Tidak, sungguh aku ingin agar diriku diutus sebagai pembawa Rahmat, bukan penyebab azab. Bahkan aku ingin agar dari sulbi-sulbi mereka, dari Rahim-rahim mereka, kelak Allah akan keluarkan anak keturunan yang mengesakan-Nya dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun”

Mengapa Rasulullah memilih peristiwa diatas sebagai sebuah kisah yang lebih berat daripada perang Uhud? Padahal  dalam perang Uhud pelipis beliau terluka oleh 3 cincin besi, lutut beliau juga terluka, 70 sahabat setia gugur dan paman tercinta wafat dalam kondisi mengenaskan. Bukankah perisitiwa itu sudah sangat menyedihkan? Akan tetapi bagi Rasulullah penolakan atas dakwah di Thoif jauh lebih menyedihkan.

Ternyata sedihnya beliau adalah karena rasa cinta yang begitu besar kepada ummatnya. Melihat penolakan dan perlakuan mereka, sudah terbayang bahwa Allah pasti akan murka kepada mereka.  Maka seperti halnya seorang ibu ketika membayangkan hal buruk akan menimpa anak-anaknya,  pasti akan merasa sedih.

Hal lain yang perlu dicermati adalah, Rasulullah tidak putus asa dengan kondisi tersebut. Bahkan doa-doa terbaik tetap terkirim untuk para manusia “durhaka” ini, dimana jika bukan mereka yang jadi baik, minimal anak keturunan merekalah yang akan jadi manusia-manusia beriman.

Menghadapi penolakan itu, Rasulullah bahkan sempat mengakui kelemahan dirinya dalam berdakwah. Dengan mengucapkan doa berikut

“ Allahumma ya Allah, kepada- Mu aku mengadukan kelemahanku, kekurangan daya upayaku dihadapan manusia. Wahai Tuhan yang Maha Rahim, Engkaulah Tuhan orang-orang yang lemah dan Tuhan pelindungku. Kepada siapa Engkau hendak serahkan nasibku? Kepada orang jauhkah yang berwajah muram kepadaku atau kepada musuh yang akan menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli, sebab sungguh luas kenikmatan yang Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung kepada nur wajah-Mu yang menyinari kegelapan dan karena itu yang membawa kebaikan di dunia dan akhirat dari kemurkaan-Mu dan yang engkau timpakan kepadaku. Kepada Engkaulah akua dukan halku sehingga Engkau Ridha kepadaku. Dan tiada daya Upaya melainkan dengan kehendak Mu”

Sungguh sangat indah, betapa ketika Rasulullah merasa tidak mampu menyampaikan tugasnya berdakwah, beliau tidak mencari alasan dengan menyalahkan penduduk Thoif, namun justru mengakui bahwa salah satu penyebabnya adalah karena “kelemahan” beliau, dan saat itu juga beliau melibatkan Allah untuk menutupi kegundahan hatinya.

Jika dikaitkan dengan perasaan kita saat meremidi anak-anak kita, bukankah kita juga merasakan kesedihan yang sama saat anak-anak tidak menguasai apa yang telah kita sampaikan? Merasa dikhianati dan disepelekan saat kita melihat angka-angka yang berkisar pada ukuran nomor sepatu tertera di lembar-lembar ujian mereka? Bukankah rasanya akan sangat memuaskan saat kita mengeluhkan tentang si A yang selalu remidi dan teman kita menimpali dengan ucapan “bener banget….si a memang kaya’ gitu, disaya juga remidi…”

Bahkan terkadang kepada si anak, kita dengan “murah hati” melontarkan kalimat “kamu tidak akan jadi apa-apa jika terus seperti ini….” Sebuah kalimat yang mungkin bagi kita saat mengucapkannya terasa biasa saja, namun bagi beberapa hati yang menerimanya akan terasa sebagai hunjaman pedang yang menancap ke ulu hati. Tidakkah kita berpikir bahwa ucapan itu juga nantinya akan dihisab? Bagaimana jika karena ucapan itu maka seorang anak akan melabeli dirinya sendiri dengan label negatif dan terbawa sampai kehidupannya selepas sekolah? Dan bayangkan jika kelak dihadapan Allah, si anak berkata “ya Allah, aku seperti ini karena ucapan salah satu guruku yang meragukan bahwa aku bisa menjadi manusia baik”

Pernahkah terlintas dalam pikiran kita, bahwa kegagalan itu juga salah satu penyebabnya adalah karena kelemahan kita? Atau justru kita tetap bersikukuh bahwa “saya sudah berupaya secara maksimal, dianya aja yang kurang fokus dan semacamnya”

Tiba-tiba terdengar suara yang sangat pelan dari diri sendiri, yang ditujukan kepada diri sendiri pula

“Baru juga meremidi… sudah gak sabar. Padahal anak-anak juga sudah nurut, gak marah-marah, gak mengusir apalagi melempar batu. Mengajar dan remidinya juga di kelas yang tidak panas, gak perlu jalan kaki jauh-jauh, dapat ijaroh pula. Lihatlah Rasulullah yang harus menempuh perjalanan 100 km dalam cuaca panas, berjalan kaki,  beliau tawarkan ajakan untuk keselamatan, tidak dibayar dengan materi, malah ditolak, dihina, diusir, dilempari batu dan bahkan diancam untuk dibunuh”

“Gitu kok ngaku warsatul anbiya’….jangan ngaku-ngaku hanya pada tinggi derajatnya saja tapi gak mau mengikuti susahnya” timpal suara lainnya.

Akhirnya, kita akhiri tulisan ini sampai disini, karena suara-suara lainnya akan semakin banyak bermunculan.

At least, semoga Allah mengaruniakan kesabaran kepada kita dalam mendidik anak-anak dan dari amal yang sedikit itu, Allah terima dan menjadi penolong kita di hadapan Nya. Aamiin…ya Robbal alamiin…

 

Kamal, 12 Agustus 2023

26 menit menjelang deadline.

Fitriya Zulianik (Guru SMK)

pemenang lomba menulis kreatif tingkat guru dan karyawan bertema Kemerdekaan yg diselenggarakan YPAS

Read more...
Penyerahan bantuan Bencana Gempa di Cianjur

Penyerahan bantuan Bencana Gempa di Cianjur

Assalamulaikum.

Kami Yayasan Perguruan Al-Irsyad Surabaya (YPAS) Pada hari Senin tanggal 28 November 2022, , telah menyerahkan Bantuan uang tunai sejumlah Rp 32.663.000,- Kepada korban bencana alam Gempa Bumi yang terjadi di Kabupaten Cianjur, Jawa barat.  Bantuan tersebut kami salurkan melalui Yayasan dana Sosial Al-Falah (YDSF),untuk lebih tepat sasaran dikarenakan tim YDSF sudah terjun secara langsung ke lokasi bancana Alam. 

Bantuan ini kami kumpulkan dari seluruh siswa-siswi , orang tua siswa, guru maupun seluruh karyawan yang berada di lingkungan YPAS, baik dari jenjang  PG-TK, SD, SMP, SMA, dan  SMK. Dana tersebut dikumpulkan sebagai wujud kepedulian kepada sesama manusia. 

Terima kasih kepada  semua pihak yang telah memberi kepercayaan kepada YPAS. terima kasih juga kepada YDSF atas kerja samanya dalam membantu Korban-korban Bencana

Semoga Amal kita semua diterima oleh Allah ta'ala dan para korban bencana diberikan kesabaran serta di ampuni dosa dosanya

Read more...
Subscribe to this RSS feed