Oleh
Drs. Istiqlal Arif Lazim
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيْدٌÇ
Artinya : Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS. Ibrohim : 7)
Pembaca yang budiman. Setujukah Anda bahwa ada banyak hal yang patut kita syukuri di dunia ini. Bersyukur karena matahari telah menyegarkan kita setiap hari. Kita bisa menghirup udara dengan sebebas-bebasnya tanpa takut tercemar radiasi nuklir. Bebas berjalan-jalan tanpa takut terkena pecahan bom. Kita bisa mandi dengan air hangat yang nikmat, menghirup kopi enak di pagi hari sambil membaca koran.
Bahwa kita bisa bersekolah, bebas kuliah di PTN, bekerja, masih bisa menyekolahkan anak-anak kita, masih punya banyak waktu untuk tilawah, bebas melaksanakan sholat di manapun tempatnya, masih bisa hadir di majelis-majelis taklim tanpa takut dianggap sesat, dsb?
Tetapi kenapa masih kita jumpai orang yang sepanjang hari isinya mengeluh, tidak puas akan kehidupannya, selalu komplain terhadap semua hal, berkeluh kesah dengan apa yang ada di sekitar kita. Entah itu karena air PAM mampet atau kotor, sarapan pagi hanya berlauk tahu tempe, pergi ke kantor hanya naik sepeda motor, jalanan macet, dsb.
Sebenarnya kualitas kebahagiaan seseorang dapat kita lihat dari apa yang diucapkannya pada kehidupan sehari-hari. Apakah dia optimistik, menikmati apa yang dijalankannya, berbahagia, ataukah penuh kritik dan keluhan, ketidakpuasan, dan kedengkian?
Marilah kita coba simak 2 kisah di bawah ini :
Kisah yang pertama
Suatu ketika di ruang kelas sekolah menengah, terlihat suatu percakapan yang menarik. Seorang Pak Guru, dengan buku di tangan, tampak menanyakan sesuatu kepada murid-muridnya di depan kelas. Sementara itu, dari mulutnya keluar sebuah pertanyaan. ”Anak-anak, kita sudah hampir memasuki saat-saat terakhir bersekolah di sini. Setelah 3 tahun, pencapaian terbesar apa yang membuat kalian bahagia? Adakah hal-hal besar yang kalian peroleh selama ini?”
Murid-murid tampak saling pandang. Terdengar suara lagi dari Pak Guru, ”Ya, ceritakanlah satu hal terbesar yang terjadi dalam hidup kalian...”
Lagi-lagi semua murid saling pandang, hingga kemudian tangan Pak Guru itu menunjuk pada seorang murid.
”Nah, kamu yang berkacamata, adakah hal besar yang kamu temui? Berbagilah dengan teman-temanmu...”
Sesaat, terlontar sebuah cerita dari si murid, ”Seminggu yang lalu, adalah saat-saat yang sangat besar buat saya. Orang tua saya, baru saja membelikan sebuah motor, persis seperti yang saya impikan selama ini.”
Matanya berbinar, tangannya tampak seperti sedang menunggang sesuatu. ”Motor sport dengan lampu yang berkilat, pasti tak ada yang bisa mengalahkan kebahagiaan itu!”
Pak Guru tersenyum. Tangannya menunjuk beberapa murid lainnya. Maka, terdengarlah beragam cerita dari murid-murid yang hadir. Ada anak yang baru saja mendapatkan sebuah mobil. Ada pula yang baru dapat melewatkan liburan di luar negeri. Sementara, ada murid yang bercerita tentang keberhasilannya mendaki gunung. Semuanya bercerita tentang hal-hal besar yang mereka temui dan mereka dapatkan. Hampir semua telah bicara, hingga terdengar suara dari arah belakang.
”Pak Guru... Pak, saya belum bercerita.”
Rupanya, ada seorang anak di pojok kanan yang luput dipanggil. Matanya berbinar. Mata yang sama seperti saat anak-anak lainnya bercerita tentang kisah besar yang mereka punya.
”Maaf, silakan, ayo berbagi dengan kami semua,” ujar Pak Guru kepada murid berambut lurus itu. ”Apa hal terbesar yang kamu dapatkan?” ujar Pak Guru mengulang pertanyaannya kembali.
”Keberhasilan terbesar buat saya, dan juga buat keluarga saya adalah... saat nama keluarga kami tercantum dalam Buku Telepon yang baru terbit 3 hari yang lalu.”
Sesaat senyap. Tak sedetik, terdengar tawa-tawa kecil yang memenuhi ruangan kelas itu. Ada yang tersenyum simpul, terkikik-kikik, bahkan tertawa terbahak mendengar cerita itu. Dari sudut kelas, ada yang berkomentar, ”Hah? Saya sudah sejak lahir menemukan nama keluarga saya di Buku Telepon. Buku Telepon? Betapa menyedihkan... Hahaha...”
Dari sudut lain, ada pula yang menimpali, ”Apa tak ada hal besar lain yang kamu dapat selain hal yang lumrah semacam itu?” Lagi-lagi terdengar derai-derai tawa kecil yang masih memenuhi ruangan. Pak Guru berusaha menengahi situasi ini, sambil mengangkat tangan.
”Tenang sebentar anak-anak, kita belum mendengar cerita selanjutnya. Silakan teruskan, Nak...”
Anak berambut lurus itu pun kembali angkat bicara. ”Ya, memang itulah kebahagiaan terbesar yang pernah saya dapatkan. Dulu, Papa saya bukanlah orang baik-baik. Karenanya, kami sering berpindah-pindah rumah. Kami tak pernah menetap, karena selalu merasa di kejar polisi.”
Matanya tampak menerawang. Ada bias pantulan cermin dari kedua bola mata anak itu, dan ia melanjutkan.
”Tapi, kini Papa telah berubah. Dia telah mau menjadi Papa yang baik buat keluarga saya. Sayang, semua itu butuh waktu dan usaha. Tak pernah ada Bank dan Yayasan yang mau memberikan pinjaman modal buat bekerja. Hingga setahun lalu, ada seseorang yang rela meminjamkan modal buat Papa saya. Dan kini, Papa berhasil. Bukan hanya itu, Papa juga membeli sebuah rumah kecil buat kami. Dan kami tak perlu berpindah-pindah lagi.”
”Tahukah kalian, apa artinya kalau nama keluarga saya ada di Buku Telepon ? Itu artinya, saya tak perlu lagi merasa takut setiap malam dibangunkan Papa untuk terus berlari. Itu artinya, saya tak perlu lagi kehilangan teman-teman yang saya sayangi. Itu juga berarti, saya tak harus tidur di dalam mobil setiap malam yang dingin. Dan itu artinya, saya, dan juga keluarga saya, adalah sama derajatnya dengan keluarga-keluarga lainnya.”
Matanya kembali menerawang. Ada bulir bening yang mengalir. ”Itu artinya, akan ada harapan-harapan baru yang saya dapatkan nanti...”
Kelas terdiam. Pak Guru tersenyum haru. Murid-murid tertunduk. Mereka baru saja menyaksikan sebuah fragmen tentang kehidupan.
Terkadang kita bersyukur hanya terhadap pencapaian besar tetapi kita kurang atau bahkan tidak bersyukur ketika kita bisa menggapai hasil yang kecil. Padahal pencapaian besar juga berawal dari pencapaian-pencapaian kecil. Seperti halnya kisah di atas, kita seolah mendapat pelajaran betapa sesuatu keberhasilan sekecil apapun sangat dan amat patut untuk disyukuri.
”Bersyukurlah dan berbahagialah setiap kali kita mendengar keberhasilan orang lain. Sekecil apapun... Sebesar apapun...”
Kisah yang kedua
Ada seorang ibu rumah tangga yang memiliki 4 anak laki-laki. Urusan belanja, cucian, makan, kebersihan & kerapian rumah dapat ditanganinya dengan baik. Rumah tampak selalu rapi, bersih & teratur dan suami serta anak-anaknya sangat menghargai pengabdiannya itu.
Cuma ada satu masalah, ibu yang pembersih ini sangat tidak suka kalau karpet di rumahnya kotor. Ia bisa meledak dan marah berkepanjangan hanya gara-gara melihat jejak sepatu di atas karpet, dan suasana tidak enak akan berlangsung seharian. Padahal, dengan 4 anak laki-laki di rumah, hal ini mudah sekali terjadi dan menyiksanya.
Atas saran keluarganya, ia pergi menemui seorang psikolog bernama Virginia Satir, dan menceritakan masalahnya. Setelah mendengarkan cerita sang ibu dengan penuh perhatian, Virginia Satir tersenyum & berkata kepada sang ibu: "Ibu harap tutup mata ibu dan bayangkan apa yang akan saya katakan"
Ibu itu kemudian menutup matanya.
"Bayangkan rumah ibu yang rapi dan karpet ibu yang bersih mengembang, tak ternoda, tanpa kotoran, tanpa jejak sepatu, bagaimana perasaan ibu?" Sambil tetap menutup mata, senyum ibu itu merekah, mukanya yang murung berubah cerah. Ia tampak senang dengan bayangan yang dilihatnya.
Virginia Satir melanjutkan; "Itu artinya tidak ada seorangpun di rumah ibu. Tak ada suami, tak ada anak-anak, tak terdengar gurau canda dan tawa ceria mereka.”
“Rumah ibu sepi dan kosong tanpa orang-orang yang ibu kasihi".
Seketika muka ibu itu berubah keruh, senyumnya langsung menghilang, nafasnya mengandung isak. Perasaannya terguncang. Pikirannya langsung cemas membayangkan apa yang tengah terjadi pada suami dan anak-anaknya.
"Sekarang lihat kembali karpet itu, ibu melihat jejak sepatu & kotoran di sana, artinya suami dan anak-anak ibu ada di rumah, orang-orang yang ibu cintai ada bersama ibu dan kehadiran mereka menghangatkan hati ibu". Ibu itu mulai tersenyum kembali, ia merasa nyaman dengan visualisasi tsb.
"Sekarang bukalah mata ibu" Ibu itu membuka matanya "Bagaimana, apakah karpet kotor masih menjadi masalah buat ibu?" Ibu itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
"Aku tahu maksud anda" ujar sang ibu, "Jika kita melihat dengan sudut yang tepat, maka hal yang tampak negatif dapat dilihat secara positif".
Sejak saat itu, sang ibu tak pernah lagi mengeluh soal karpetnya yang kotor, karena setiap melihat jejak sepatu disana, ia tahu, keluarga yang dikasihinya ada di rumah.
Kisah di atas adalah kisah nyata. Virginia Satir adalah seorang psikolog terkenal yang mengilhami Richard Binder & John Adler untuk menciptakan NLP (Neurolinguistic Programming) . Dan teknik yang dipakainya di atas disebut Reframing, yaitu bagaimana kita 'membingkai ulang' sudut pandang kita sehingga sesuatu yang tadinya negatif dapat menjadi positif, salah satu caranya dengan mengubah sudut pandangnya.
Dua kisah di atas memberikan kepada kita pelajaran yang teramat penting, bahwa sesuatu keberhasilan kecil yang terkadang kita anggap remeh, ternyata berbeda bagi orang lain. Begitu juga sesuatu yang terlihat di depan kita buruk belum tentu benar-benar buruk. Bahkan ternyata hal buruk tersebut jika dipandang dari sudut pandang positif, malah menumbuhkan rasa syukur tiada terkira.
Maka marilah kita lihat kembali sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Dari Suhaib r.a., bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh menakjubkan perkaranya orang yang beriman, karena segala urusannya adalah baik baginya. Dan hal yang demikian itu tidak akan terdapat kecuali hanya pada orang mukmin; yaitu jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan yang terbaik untuknya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya.” (HR. Muslim).
Betapa ternyata agama ini sudah mengajarkan kepada kita, jauh hari sebelum orang-orang mengenal banyak teori tentang psikologi, ataupun teori-teori lain tentang kehidupan manusia. Agama ini sudah mengatur sedemikian rupa sehingga bagi orang yang beriman setiap perkara yang menimpanya selalu dipandang dari sisi positif, bukan malah membuat dia semakin jauh dari Allah subhanahu wa ta'ala tetapi malah membuatnya semakin rajin beribadah dan memperbanyak syukur. Apalagi sebentar lagi kita akan sampai pada bulan yang mulia, bulan penuh rahmat yaitu Bulan Suci Ramadhan. Maka marilah kita ungkapkan rasa syukur kita kepada Allah subhanahu wa ta'ala dengan memperbanyak amal ibadah kita, meramaikan masjid-masjid-Nya, memperbanyak membaca Al-Qur'an dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya. Semoga kita termasuk di dalam hamba-hamba Allah subhanahu wa ta'ala yang rajin mensyukuri segala nikmat dan karunia-Nya dan menjadikan kita sebagai golongan yang dimasukkan Allah ke dalam surga-Nya. Aamiin.