Yayasan Perguruan Al-Irsyad Surabaya (YPAS). Menjadikan Sekolah Al-Irsyad Sebagai Agen Perubahan Masyarakat  read more

Merdeka Berjuang

Oleh

Ernis Kurnia Puspasari, S.Pd

 

"Srek..srek.."suara langkah menyeret yg khas.."sreeet" Dhika sigap menyetel Hp mode kamera on."cekrek..cekrek.."entah berapa kali jepretan diambil dengan obyek kakek yang sedang memanggul karung berjalan dengan langkah tertatih dan menyeret.Meski dari balik daun pepohonan tapi Dhika masih bisa mengambil foto dengan angle yang bagus.Jemarinya berhenti menjepret setelah kakek itu membuka pintu rumah yang sangat sederhana dan menghilang dibalik pintu.Dhika menghempaskan tubuhnya direrumputan tempat dia bersembunyi

"Alhamdulillah..akhirnya kutemukan juga tempat tinggal kakek itu"gumam Dhika sembari melihat - lihat lagi hasil foto fotonya.

"Oke,cukup untuk hari ini"gumam Dhika sembari menyimpan ponsel dalam saku kemejanya,berdiri menyandang tas ransel dan segera beranjak pergi dari tempat persembunyiannya.

 

Dhika merebahkan tubuhnya dikasur empuk kamarnya,dengan berbantal kedua tangan matanya merawang kelangit langit kamar.

"Ciiit" suara rem yang bergesekan dengan aspal jalanan itu membuat Dhika yang sedang berdiri didepan kampus terlonjak,hampir saja motor itu menabrak seorang kakek yang sedang berdiri membungkuk menata mainan dagangannya yang digelar ditepi jalan.

Dhika ingin sekali menghampiri pemotor itu tapi terlambat karena pemotor itu segera berlalu dengan menggeber motornya ugal ugalan.Dhika melihat sang kakek pedagang itu hanya menggeleng gelengkan kepalanya dan tersenyum pada pemotor yg hampir saja mencelakainya,Dhika ingin menghampiri kakek itu tapi setelah melirik jam tangannya,Dhika ingat kalau 5 menit lagi ada jam kuliah,Dhika menengok kembali kakek itu untuk memastikan bahwa beliau baik baik saja kemudian berlalu masuk kampus untuk kuliah.

Semenjak kejadian itu Dhika jadi sering memperhatikan kakek penjual mainan itu dari seberang kampusnya,entahlah Dhika begitu penasaran dengan kakek itu,karena dalam pengamatannya kakek itu seringkali mengelus elus mainan tembak tembakan dagangannya,mainan itu terbuat dari gabus seperti home made bukan buatan pabrik,tidak hanya mengelus tapi juga melakukan gerakan seolah olah sedang mengokang senjata.Dhika pernah melihat kakek itu juga menghampiri seorang anggota TNI berpakaian doreng yang sedang melintas lalu memeluknya, berbincang bincang dan kemudian sang bapak TNI terlihat mengusap dan memeluk sang kakek yang sesenggukan.Pernah juga Dhika memergoki kakek itu mendongak lama menatap bendera yang berkibar kibar dipinggir jalan,kemudian dia mengusap usap matanya.Dhika juga pernah memperhatikan kakek itu berdiri tegak dibalik pagar kampusnya saat ada upacara berlangsung dikampusnya.kakek juga ikut hormat bendera saat peserta upacara melakukan gerakan hormat bendera.Dhika memotret semua kejadian itu.

Aah.. Dhika mengusap wajahnya bayangan tentang pertemuan dengan kakek itu mengusiknya hingga membuat Dhika ingin mengenal kakek itu lebih dalam.Dhika memang ingin sekali menghampiri beliau saat berdagang, tapi Dhika selalu tak punya kesempatan, jadwal kuliah dan kegiatan organisasi yang padat membuat Dhika tak banyak punya waktu luang, Saat ada waktu sang kakek sudah pulang.

Suatu sore Dhika membuntuti kakek itu saat pulang dan bersembunyi dibalik daun pepohonan untuk mengetahui rumahnya. Besok hari Minggu Dhika akan mendatangi rumah kakek itu,karena biasanya hari minggu kakek libur jualan.

Sinar mentari bersinar hangat,ditingkahi cuit cuit burung yang bernyanyi,beterbangan kesana kemari dengan ceria bercanda dengan teman temannya,seolah olah menyerukan pada manusia untuk selalu bahagia dan bersyukur atas segala nikmat Allah SWT sang Pencipta.

Dhika melangkahkan kakinya perlahan dan berhati hati,Jalan yang sempit berdempetan dengan sungai yang penuh sampah membuatnya menutup hidung.

Dhika menghela napas dan berhenti didepan pintu yang terbuka sedikit.

"Assalamualaikum..Permisi.." ucap Dhika dan langsung berbalas salam dengan suara serak dari dalam rumah"Waalaikumsalam"

"Cari siapa nak?"tanya kakek sang pemilik rumah dibalik pintu

"Saya Dhika kek,mau bertemu dengan kakek, saya sering melihat kakek berjualan diseberang kampus saya" jawab Dhika yang sempat bingung mau bilang apa.

"Ooh..iya ya..mari masuk" kata kakek sambil membuka pintu lebih lebar.

"Duduk dulu nak" kakek mempersilahkan.

Dhika perlahan duduk dikursi kayu yang sudah usang dengan mata yang menyapu dinding rumah,mulutnya ternganga saat melihat banyak tanda jasa,foto foto,dan kopiah oranye veteran."Maaf y nak rumahnya sederhana banget, dan maaf kakek sengaja memasang semuanya karena kakek ingin selalu mengingat masa masa indah itu" ujar kakek seolah paham dengan ekspresi Dhika.

"Ooh maaf kek,saya justru terpesona melihatnya,keren banget kek" jawab Dhika

"Hanya itu yang bisa kakek kenang nak"

"Hmmm..anak muda ini ada keperluan apa sama kakek?" Tanya kakek dengan wajah teduh dan tersenyum.

"Hmmm..maaf kek,saya kuliah dikampus MERDEKA, seberang kakek berjualan mainan,mohon maaf saya sering memperhatikan kakek dan memfoto kakek,karena saya terkesan dengan kakek,mohon maaf ya kek" Dhika berhati hati dalam kalimat kalimatnya sambil menatap mata kakek dengan lembut.

"Apa yang membuatmu terkesan nak?" Tanya kakek sambil tersenyum ramah.

"Hmmm..mohon maaf bahkan saya belum tahu nama kakek"

"Nama saya ini artinya bagus nak,hanya saja sudah kuno" ucap sang kakek sambil terkekeh menampakkan deretan giginya yang hanya tinggal beberapa saja,tapi meski begitu guratan ketampanan masih tergambar diwajah teduhnya.

"Lha kakek bisa saja,tidak apa apa kuno kek,yang penting artinya bagus" Dhika menimpali dengan tertawa sopan,tidak menyangka sang kakek punya selera humor juga.

"Nama kakek Panut nak Dhika" jawab kakek sambil tersenyum.

"Ooh kakek Panut..saya terkesan sama kakek karena ini kek" ucap Dhika sambil menggeser duduknya mendekat pada kakek,Dhika menunjukkan beberapa foto dengan obyek kakek Panut

Mata kakek berkaca kaca dan buliran buliran bening tak terasa menetes dipipi kakek.

"Maaf kek,Dhika tidak bermaksud.."belum selesai Dhika bicara kakek sudah memotong."Terimakasih foto fotonya nak,kakek memang begitu orangnya,kakek tak pernah lupa semua cerita di masa lalu,mata kakek menerawang dan dari mulutnya mulai mengalir cerita

Kilatan api yang menyambar nyambar,teriakan takbir,teriakan kesakitan dan suara bising tembakan bersahutan,Panut muda bersembunyi dibalik tumpukan karung yang disusun untuk tempat perlindungan,senjatanya diarahkan kearah penjajah sembari berteriak agar teman temannya berlindung dan membawa temannya yang terluka keluar dari medan pertempuran,dengan tetap fokus menembak Panut muda berlari menjauh untuk mundur dari medan pertempuran kembali ke posko bersama teman temannya" Dorrrr" suara tembakan bersambut dengan teriakan kesakitan Panut muda karena telapak kakinya tertembak penjajah,bersyukur teman-temannya segera menyeretnya dan memapah menyelamatkannya,kakinya dirawat belum sembuh benar masih dengan kaki yang dibebat kain.Panut muda dengan gagah berani maju kembali ke medan perang,peristiwa itu yang membuat kakinya harus berjalan menyeret sampai sekarang.Kakek bercerita setelah melihat foto saat dia mengelus elus tembak mainan yang dijualnya.

Kakek juga selalu senang dan bangga bahkan terharu saat melihat bapak bapak dengan pakaian doreng,terlihat gagah seperti kakek dulu,kalau sekarang sudah bungkuk hehhehe" kakek bercerita dengan tertawa memegang punggungnya yang langsung disambut Dhika dengan mengelus elusnya.Dipundak mereka lah sekarang nasib bangsa ini karena mereka abdi negara yang harus selalu ada digaris terdepan untuk kedaulatan bangsa. Begitu cerita kakek saat melihat foto fotonya dengan sang bapak TNI.Pertempuran demi pertempuran telah dilalui dengan gagah berani,berbagai bintang jasa Panut muda terima,bukan itu yang membuatnya bahagia tapi pekik proklamasi kemerdekaaan yang membuatnya sangat bahagia dan bersujud syukur mendengar lagu Indonesia Raya dikumandangkan dan Bendera merah putih yang dikibarkan tanpa sembunyi sembunyi lagi itu yang membuatnya sampai sekarang selalu terharu jika melihat bendera dikibarkan dan jika melihat upacara bendera.

"Begitulah nak,kakek bersyukur pernah menjadi bagian dari perjuangan kemerdekaan Indonesia, iya kakek dulu seorang pejuang, seorang veteran, kakek masih sehat,masih diberi umur panjang, kakek masih kuat berjuang,jadi kakek berjuang mengisi kemerdekaan ini dengan berjualan mainan,karena setiap kakek melihat anak anak kecil yang lewat atau yang membeli mainan kakek, kakek tersenyum dan berdoa untuk mereka agar tidak mudah menyerah berjuang untuk menggapai cita cita sebagai generasi muda penerus perjuangan bangsa yang kelak bisa mengangkat derajat bangsa Indonesia menjadi negara maju sejahtera yang disegani bangsa bangsa di seluruh dunia" kakek Panut menyeka air matanya, begitu juga Dhika."Dan kamu juga nak Dhika,ajaklah teman temanmu agar menjadi pejuang sejati yang tidak mudah menyerah,ditanganmulah wahai anak muda nasib bangsa ini disematkan" kakek Panut menepuk nepuk pundak dhika, Dhika memeluk kakek Panut, dalam hatinya Dhika berjanji akan memperjuangkan nasib kakek Panut dan teman temannya sebagai veteran dan memperjuangkan nasib bangsa ini dengan teman temannya mahasiswa generasi penerus bangsa.Terimakasih kakek Panut yang sudah menginspirasi,sesuai namamu Panut,engkau memang layak menjadi Panutan,dan sesuai nama yang disematkan orangtuaku untukku yaitu Mahardhika yang artinya kemerdekaan, maka beruntungnya aku seorang yang mendapatkan panutan kemerdekaan.

 

Sejatinya perjuangan itu tidak pernah berhenti,kalau dulu kita berjuang meraih kemerdekaaan,sekarang kita berjuang mengisi kemerdekaan,jangan pernah menyerah,Raihlah cita citamu dengan berjuang,berjuang untuk hidup bermanfaat untuk sesama,Hablumminallah dan Hablumminnaas dimanapun kita apapun profesi kita,kita semua sedang berjuang dengan cita cita kita masing masing,tetapi satu tujuan untuk masa depan bangsa.itulah yang dinamakan merdeka berjuang.

Read more...

BENARKAH NEGERIKU TELAH MERDEKA?

Kumpulan awan hitam bersatu diatas langit yang kelam tanpa senyuman sang mentari. Jeritan langit-langit mulai berkumandang dikedua telinga kecilku. Namun semua itu tak menggoyahkan tanganku untuk turun berhenti menghormati sang saka merah putih. Ya, hari ini adalah hari dimana sang pertiwi sedang merayahkan ulang tahunnya, hari kemerdekaan Indonesia.

 

     Ditengah lapangan yang cuacanya tak lagi ramah, sang saka merah putih perlahan demi perlahan dikibarkan dengan iringan lagu Indonesia raya. Kunyanyikan bait demi bait lagu, kuhanyutkan diri dalam melodi nada,  kututup netraku yang perlahan meneteskan air matanya, kuukirkan senyum ditengah nuansa 78 tahun indonesiaku merdeka. Tak terbayang oleh anganku, berapa juta liter darah dan keringat tak bersalah yang tumpah selama ratusan tahun dibawah ribuan todongan senjata.

 

     Tahap demi tahap upacara telah terlaksana, hingga pada penutup upacara, para siswa dan para guru mulai dibubarkan. Banyak yang langsung pulang, banyak yang masih mengobrol, bahkan pergi kekantin, banyak juga yang duduk-duduk dilapangan hanya untuk sekedar melepas penat. Sementara aku saat ini sedang mengistirahatkan raga dibawah tempat teduh yang lumayan jauh dari keramaian, hanya ada aku dan 2 siswi lain disini.

 

     Oh ya, sebelumnnya perkenalkan namaku Fatimah Launara Afisya, biasa dipanggil fisya. Gadis berlesung pipi yang saat ini menginjak usia 17 tahun. Aku kelas 12 semester 1 yang masih sempoyongan berdiri dengan kedua kakiku sendiri

 

“enak ya hidup di luar negeri, terutama London dan Swiss. Negaranya maju, tempatnya bersih, banyak orang-orang berpendidikan lagi, gak seperti di Indonesia”

 

     Sayup-sayup kudengar pembicaraan dari 2 siswi disebelahku. Kualihkan perhatianku dari handphone ke arah mereka. ‘ah, ternyata adek kelas’ batinku setelah kulihat bed mereka yang masih bertulisan angka 11

 

“gak usah diragukan lagi kalau London sama Swiss. Jangan bandingin sama Indonesia, jelas kalah jauh. Sampah ada dimana-mana, banyak pengangguran, korupsi gak habis-habis, banyak orang yang buta huruf dan angka, memang pemerintahan Indonesia gak ada yang becus ” ucap salah satu siswi yang membawa segelas es cokelat yang hampir habis ditangannya. Teman satunya yang memakai kacamata hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan teman disebelahnya  “btw, besok kamu masuk sekolah gak?”

 

“besok kan ada pr matematika sama Bahasa Indonesia ya? Aku bolos aja deh, capek habis upacara tadi. Selain itu juga lagi malas mikir, apalagi ketemu matematika besok”

 

“kalau gitu besok kita ke mall aja yuk, katanya ada event baru besok pagi. Sekarang kita pulang dulu aja, mumpung hujan belum turun. Soal pr nanti kita bisa nyontek yang lain”

 

“Okey deh” mereka mulai beranjak dari tempat duduk mereka. Sebelum benar-benar pergi, salah satu dari mereka membuang gelas es cokelat yang telah habis sembarangan

 

“Dek!!” panggilku dengan sedikit keras

 

     Mereka menoleh kebelakang menatap ke arahku. Aku pun beranjak dari dudukku menghampiri gelas es cokelat yang telah dibuang sembarangan

 

“kalian tahu kenapa London dan Swiss negaranya bersih?” tanyaku pada mereka

 

Mereka memasang wajah bingung dengan sikap tiba-tiba yang kulakukan. Mereka saling pandang sejenak sebelum siswi berkacamata mulai menjawab “tentunya karena pemerintahan mereka yang bagus dan benar-benar memperhatikan kemajuan bangsanya”

 

“benar. Tapi kesadaran masyarakat juga dibutuhkan..” kupungut gelas es cokelat yang ada dibawah kakiku “..untuk membangun sebuah rumah tangga yang bagus dan nyaman untuk ditinggali, perlu adanya kerjasama antara penghuni rumah. Akan berat jika hanya satu pihak yang menjaga kebersihan dan kenyaman, sementara satu pihak lain selalu mengotori dan berbuat semaunya sendiri. Jika seperti itu, bagaimana  suatu negara dapat menjadi negara yang maju?” lanjutku

 

Melihat mereka yang hanya diam termenung, aku kembali bersuara “menurut kalian, mengapa rata-rata masyarakat London dan Swiss memiliki pendidikan yang lebih tinggi dari indonesia?” tanyaku seraya kutatap mata mereka yang sedikit menundukkan kepalanya

 

“karena dibandingkan pergi ke mall, banyak dari mereka yang lebih memilih mengerjakan pr matematika yang lebih sulit. Alih-alih menghindari, mereka lebih memilih untuk menghadapinya sendiri tanpa menyontek yang lain. Alih-alih mengeluh, mengapa kalian tidak mencoba melakukan tindakan untuk membuat Indonesia lebih merdeka dari tanggal 17 agustus 1945? Dengan kita belajar itu sudah meneruskan perjuangan para pahlawan kita. Jangan pernah mengibarkan bendera putih dalam belajar, karena masa depan bangsa bergantung pada generasi muda seperti kalian”

 

     Selesai mengatakan itu, aku beranjak dari hadapan mereka setelah kuserahkan gelas es cokelat yang kupegang tadi ketangan mereka.

 

-----------------

 

     Hiruk pikuk jalanan sang kota pahlawan tak pernah berubah. Hanya saja hari ini lebih banyak bendera merah putih yang berkibar dimana-mana. 78 tahun indonesiaku menghirup udara kemerdekaan, berdiri dan mulai melangkah dengan kedua kakinya sendiri. Bebatuan tak luput pula menyertai jalannya, beberapa kali membuat langkah ibu pertiwi goyah dan terjatuh, namun sedikit pun tak pernah berniat mengibarkan bendera putih pada dunia

 

“hai fisya”

 

Kutolehkan kepalaku kesamping kanan dikala runguku mendengar seseorang menyapa diriku. Seorang Perempuan cantik dengan gigi gingsulnya. Ia adalah seorang relawan di desa-desa terpencil, aku mengenalnya saat diriku menjadi relawan di daerah NTT 5 bulan lalu. Dia bernama Ravella Putri Azzahra, biasa dipanggil dengan Vella

 

“hai juga vel. Kamu sedang apa di Surabaya?” tanyaku. Karena setahuku perempuan tersebut bukan penduduk asli Surabaya

 

“aku sekarang kuliah sambil kerja disini. udah sekitar 3 bulan yang lalu”

 

“ooh, tinggal di daerah mana disini?” basa-basi kami terus berlanjut sambil berjalan ditemani pohon-pohon yang daunnya mulai mongering dan menjatuhkan dirinya

 

     Beberapa langkah telah kami lewati bersama dengan kami yang terus bertukar kabar dari lamanya waktu memisahkan. Tak sengaja netraku menangkap seorang pengemis tua yang ringkih duduk dipinggir jalan sambil mengusap perutnya

 

“melihat nenek pengemis yang menahan perihnya kelaparan di hari Indonesia merayakan kebebasannya, apa arti kemerdekaan yang sebenarnya bagimu? Apakah benar Indonesia sudah benar-benar merdeka?”tanya Vella yang juga menatap pengemis tersebut

 

Aku mulai melangkahkan kaki ke arah nenek tua tersebut. Kutaruh uang 10.000 digelas plastik yang rata-rata berisi uang receh didekat nenek tersebut

 

“Terima kasih nduk sedekahnya, semoga diberi kesehatan dan kelancaran segala urusan yang akan datang” ku aminkan doa yang nenek panjatkan untukku

 

“sama-sama nek”

 

“tadi ada upacara 17 agustusan ya?” tanya nenek padaku, aku pun hanya menganggukkan kepala tanda mengiyakan ucapan si nenek

 

“nanti malam katanya akan ada acara besar-besaran untuk merayakan kemerdekaan Indonesia di alun-alun kota, kamu datang? Tanya nenek lagi kepadaku

 

“insyaallah, iya nek. Nenek sendiri bagaimana?”

 

Jeda beberapa detik, nenek terdiam membisu. Kulihat perlahan nenek mulai tersenyum dan menatap tepat ke arah mataku seraya berkata “tepat hari ini ditahun 1945 para polisi membebaskan ibu pertiwi dari penjara yang dingin dan gelap gulita. Setelah ratusan tahun dibalik jeruji besi yang penuh kekanganan, akhirnya ibu pertiwi dapat menghirup udara kemerdekaan nya. Merah putih berkibar dimana-mana, banyak teriakan dan tangis haru saling bersahut-sahutan. Nenek bahagia saat itu, namun sayangnya nenek yang saat itu berusia 7 tahun tidak memiliki tenaga untuk berlari dan teriak-teriak seperti anak-anak yang lainnya, tenaga nenek saat itu sudah habis untuk menahan perihnya rasa lapar..”

 

Aku terdiam, lidahku kaku tak bisa mengucap kata. Kutatap lembut mata nenek yang mulai berkaca-kaca

 

“Nenek kira saat sorakan ‘MERDEKA’ mengisi pelosok negeri, nenek akan menjalani hidup lebih layak dan tak perlu menahan lapar lagi. Namun nyatanya sebelum dan sesudah merdeka, kelaparan masih nenek rasakan. Lalu apa arti merayakan kemerdekaan untuk orang-orang seperti kami? Bagi rakyat yang setiap harinya tak pernah kenyang, kemerdekaan tak ada bedanya dengan zaman penjajahan. Bukankah mati karena tembakan lebih baik daripada mati secara perlahan karena kelaparan?”

 

     Aku terdiam membisu, rasanya seperti suaraku dipenjarakan secara paksa. Korupsi, kelaparan, pengangguran, kemiskinan, rendahnya pendidikan, dan lainnya, benarkah negeriku ini sudah benar-benar merdeka?

 

     Bagiku tidak, Indonesiaku masih setengah merdeka. 78 tahun usia yang masih dini untuk ribuan pulau dan ratusan juta manusia mengecap arti kemerdekaan yang sebenarnya.

 

     Pondasi dari merdekanya suatu negara berasal dari iman dan ilmu kepintaran yang didapatkannya dari belajar, jangan pernah mengejar kepintaran tanpa keimanan yang menyertai, suatu negara akan hancur dengan penduduk seperti itu.

 

     Perjuangan tak selalu berbentuk darah, jangan pernah berhenti mengejar ilmu dan iman, bahkan disaat tulangmu rasanya akan patah. Karena perjuangan sang pertiwi tidak berhenti pada tanggal 17 Agustus 1945

 

     Kalau menurut kalian? Apa arti kemerdekaan yang sebenarnya?

 

 karya Syifa’ul Ummah

Siswa SMK XII-Keperawatan 1

pemenang lomba menulis kreatif tingkat SMK bertema Kemerdekaan yg diselenggarakan YPAS

Read more...

Guru yang Merdeka Mengajar dengan Cinta

Merdeka dalam mengajar adalah tampak dari keikhlasannya saat menjalankan peran sebagai guru. Menjalankan peran dengan penuh cinta dan ketulusan.

Saat lagi capek-capeknya menghadapi anak-anak yang remidi, tiba-tiba ingat dengan ucapan mbah Moen tentang bagaimana seharusnya seorang guru ketika mendapati anak didiknya yang masih kesulitan belajar.

Jadi guru itu tidak usah punya niat  bikin pintar orang, nanti kamu hanya marah-marah Ketika melihat muridmu tidak pintar. Ikhlasnya jadi hilang. Yang penting niat menyampaikan ilmu dan mendidik yang baik. Masalah muridmu kelak jadi pintar atau tidak, serahkan pada Allah, didoakan saja terus menerus agar muridnya mendapat hidayah.

Memang benar, selama ini ketika ada siswa yang nilainya belum mencapai  KKM, maka kita akan merasa bahwa itu semua adalah kesalahan siswa. Sebagai guru kita telah merasa melakukan yang terbaik, mulai dari penyampaian materi,  pemilihan bobot  soal yang diujikan, maupun segala macam alasan lainnya. Namun pada kenyataannya, tetap saja ada anak-anak yang remidi. Akhirnya kita akan merasa capek dan terkadang marah terhadap si anak, baik itu kita lakukan secara langsung dihadapan si anak, maupun secara diam-diam (terkadang membicarakannya dengan teman sekantor, atau ada juga yang memilih untuk memendamnya dalam hati)

Jika kita menyadari bahwa tugas kita sebagai guru adalah sebatas menyampaikan dan mendoakan, maka niscaya tidak akan merasa kesal dan marah jika masih ada anak yang remidi. Jika saja kita menyadari bahwa mengajar anak-anak yang disertai dengan keikhlasan adalah sebuah ibadah yang memiliki nilai sangat tinggi disisi Allah, maka kita tidak akan merasa rugi saat harus mengulanginya berapa kalipun.

Kalau saja kita meyakini bahwa saat kita melakukan kegiatan belajar mengajar adalah saat dimana para malaikat menggunakan sayapnya untuk memberi naungan bagi kita, seluruh makhluk dilaut dan di bumi berdoa dan memohonkan ampun untuk kita, serta padanan yang Allah berikan kepada kita adalah menimbang tinta-tinta yang kita keluarkan setara dengan darah para syuhada, niscaya tidak akan pernah ada drama dan ungkapan-ungkapan “Haduh….dia lagi….dia lagi….selalu remidi….”

Kembali pada dawuh mbah Moen diatas, tugas guru selain Ikhlas dalam mendidik adalah mendoakan…nah, untuk yang ini kita kerap melalaikannya. Lupa menyertakan nama anak-anak didik kita dalam doa-doa yang kerap kali kita panjatkan. Padahal seandainya kita menyebut mereka dalam doa-doa kita, maka Allah akan bentangkan “tali” yang akan menghubungkan kita dengan si anak, dimana pada gilirannya nanti akan melahirkan sebuah ikatan yang tidak akan lekang walau mereka sudah keluar dari sekolah. Bahkan pada tataran yang lebih jauh lagi, insyaAllah “tali” tersebut akan menjadi salah satu penyebab dientaskannya kita dari neraka, dan ditarik menuju surga Allah. Bisakah kita bayangkan, betapa bahagianya ketika kita sedang menderita di neraka, tiba-tiba ada tangan yang menarik kita, dan setelah kita melihatnya, dia adalah salah satu anak didik kita di dunia.

Ada sebuah kisah yang sangat menarik, dimana jika kita cermati maka kisah ini bisa menjadi pelipur lara ketika sebagai guru maupun orangtua merasa gagal dalam mendidik anak. Kisah indah ini dinukil dari manusia terbaik dan  guru terhebat sepanjang masa, Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam, yang disajikan dengan sangat indah oleh Salim A. fillah dalam Lapis-Lapis Keberkahan.

Suatu saat Aisyah bertanya kepada Rasulullah “ Wahai Rasulullah, peristiwa apa yang menurut engkau lebih berat daripada perang Uhud?” lantas Rasul menjawab, bahwa dakwah beliau ke Thoif adalah sebuah peristiwa yang jauh lebih berat bagi beliau disbanding perang Uhud.

“ Aku pergi dengan kegundahan dalam hati, hingga tiba di Qarn Ats-Tsa’alib. Ketika kuangkat kepalaku, maka tampaklah Jibril memanggilku dengan suara yang memenuhi ufuk. “Sesungguhnya Rabb mu telah mengetahui apa yang dikatakan dan diperbuat kaummu terhadapmu. Maka Dia mengutus malaikat penjaga gunung ini untuk kau perintahkan sesukamu”

“Lalu malaikat penjaga gunung menimpali “ya Rasulallah, ya Nabiyallah, ya Habiballah, perintahkanlah, maka aku akan membalikkan gunung Akhsyabain ini agar menimpa dan menghancurkan mereka yang telah ingkar, mendustakan, menista, mengusir dan menyakitimu”

Dan lihatlah jawaban yang keluar dari lisan yang mulia. Padahal Allah sudah menawarkan hal yang sangat menggiurkan untuk melampiaskan rasa kecewa yang membuncah di dada. Jawaban yang sungguh tidak akan mungkin keluar dari manusia biasa.

“ Tidak, sungguh aku ingin agar diriku diutus sebagai pembawa Rahmat, bukan penyebab azab. Bahkan aku ingin agar dari sulbi-sulbi mereka, dari Rahim-rahim mereka, kelak Allah akan keluarkan anak keturunan yang mengesakan-Nya dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun”

Mengapa Rasulullah memilih peristiwa diatas sebagai sebuah kisah yang lebih berat daripada perang Uhud? Padahal  dalam perang Uhud pelipis beliau terluka oleh 3 cincin besi, lutut beliau juga terluka, 70 sahabat setia gugur dan paman tercinta wafat dalam kondisi mengenaskan. Bukankah perisitiwa itu sudah sangat menyedihkan? Akan tetapi bagi Rasulullah penolakan atas dakwah di Thoif jauh lebih menyedihkan.

Ternyata sedihnya beliau adalah karena rasa cinta yang begitu besar kepada ummatnya. Melihat penolakan dan perlakuan mereka, sudah terbayang bahwa Allah pasti akan murka kepada mereka.  Maka seperti halnya seorang ibu ketika membayangkan hal buruk akan menimpa anak-anaknya,  pasti akan merasa sedih.

Hal lain yang perlu dicermati adalah, Rasulullah tidak putus asa dengan kondisi tersebut. Bahkan doa-doa terbaik tetap terkirim untuk para manusia “durhaka” ini, dimana jika bukan mereka yang jadi baik, minimal anak keturunan merekalah yang akan jadi manusia-manusia beriman.

Menghadapi penolakan itu, Rasulullah bahkan sempat mengakui kelemahan dirinya dalam berdakwah. Dengan mengucapkan doa berikut

“ Allahumma ya Allah, kepada- Mu aku mengadukan kelemahanku, kekurangan daya upayaku dihadapan manusia. Wahai Tuhan yang Maha Rahim, Engkaulah Tuhan orang-orang yang lemah dan Tuhan pelindungku. Kepada siapa Engkau hendak serahkan nasibku? Kepada orang jauhkah yang berwajah muram kepadaku atau kepada musuh yang akan menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli, sebab sungguh luas kenikmatan yang Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung kepada nur wajah-Mu yang menyinari kegelapan dan karena itu yang membawa kebaikan di dunia dan akhirat dari kemurkaan-Mu dan yang engkau timpakan kepadaku. Kepada Engkaulah akua dukan halku sehingga Engkau Ridha kepadaku. Dan tiada daya Upaya melainkan dengan kehendak Mu”

Sungguh sangat indah, betapa ketika Rasulullah merasa tidak mampu menyampaikan tugasnya berdakwah, beliau tidak mencari alasan dengan menyalahkan penduduk Thoif, namun justru mengakui bahwa salah satu penyebabnya adalah karena “kelemahan” beliau, dan saat itu juga beliau melibatkan Allah untuk menutupi kegundahan hatinya.

Jika dikaitkan dengan perasaan kita saat meremidi anak-anak kita, bukankah kita juga merasakan kesedihan yang sama saat anak-anak tidak menguasai apa yang telah kita sampaikan? Merasa dikhianati dan disepelekan saat kita melihat angka-angka yang berkisar pada ukuran nomor sepatu tertera di lembar-lembar ujian mereka? Bukankah rasanya akan sangat memuaskan saat kita mengeluhkan tentang si A yang selalu remidi dan teman kita menimpali dengan ucapan “bener banget….si a memang kaya’ gitu, disaya juga remidi…”

Bahkan terkadang kepada si anak, kita dengan “murah hati” melontarkan kalimat “kamu tidak akan jadi apa-apa jika terus seperti ini….” Sebuah kalimat yang mungkin bagi kita saat mengucapkannya terasa biasa saja, namun bagi beberapa hati yang menerimanya akan terasa sebagai hunjaman pedang yang menancap ke ulu hati. Tidakkah kita berpikir bahwa ucapan itu juga nantinya akan dihisab? Bagaimana jika karena ucapan itu maka seorang anak akan melabeli dirinya sendiri dengan label negatif dan terbawa sampai kehidupannya selepas sekolah? Dan bayangkan jika kelak dihadapan Allah, si anak berkata “ya Allah, aku seperti ini karena ucapan salah satu guruku yang meragukan bahwa aku bisa menjadi manusia baik”

Pernahkah terlintas dalam pikiran kita, bahwa kegagalan itu juga salah satu penyebabnya adalah karena kelemahan kita? Atau justru kita tetap bersikukuh bahwa “saya sudah berupaya secara maksimal, dianya aja yang kurang fokus dan semacamnya”

Tiba-tiba terdengar suara yang sangat pelan dari diri sendiri, yang ditujukan kepada diri sendiri pula

“Baru juga meremidi… sudah gak sabar. Padahal anak-anak juga sudah nurut, gak marah-marah, gak mengusir apalagi melempar batu. Mengajar dan remidinya juga di kelas yang tidak panas, gak perlu jalan kaki jauh-jauh, dapat ijaroh pula. Lihatlah Rasulullah yang harus menempuh perjalanan 100 km dalam cuaca panas, berjalan kaki,  beliau tawarkan ajakan untuk keselamatan, tidak dibayar dengan materi, malah ditolak, dihina, diusir, dilempari batu dan bahkan diancam untuk dibunuh”

“Gitu kok ngaku warsatul anbiya’….jangan ngaku-ngaku hanya pada tinggi derajatnya saja tapi gak mau mengikuti susahnya” timpal suara lainnya.

Akhirnya, kita akhiri tulisan ini sampai disini, karena suara-suara lainnya akan semakin banyak bermunculan.

At least, semoga Allah mengaruniakan kesabaran kepada kita dalam mendidik anak-anak dan dari amal yang sedikit itu, Allah terima dan menjadi penolong kita di hadapan Nya. Aamiin…ya Robbal alamiin…

 

Kamal, 12 Agustus 2023

26 menit menjelang deadline.

Fitriya Zulianik (Guru SMK)

pemenang lomba menulis kreatif tingkat guru dan karyawan bertema Kemerdekaan yg diselenggarakan YPAS

Read more...
Subscribe to this RSS feed