Yayasan Perguruan Al-Irsyad Surabaya (YPAS). Menjadikan Sekolah Al-Irsyad Sebagai Agen Perubahan Masyarakat  read more

Berkibarlah Sang Merah Putih

“ Berkibarlah Sang Merah Putih ”

oleh Ifyta Kayla (5A)

 

Di sebuah kota kecil yang dikelilingi oleh pegunungan hijau, terdapat seorang anak laki-laki bernama Adi. Ia tinggal bersama kedua orangtuanya, yang bekerja sebagai petani di ladang-ladang subur di sekitar desa mereka. Adi tumbuh dengan cerita-cerita tentang perjuangan kemerdekaan yang diceritakan oleh kakeknya, seorang pahlawan kemerdekaan.

Saat merayakan hari kemerdekaan, desa itu bergetar dengan semangat patriotik. Bendera merah putih berkibar dengan anggun di setiap sudut desa. Warga desa berkumpul di lapangan untuk mengikuti parade, pertunjukan, dan acara peringatan kemerdekaan. Semua orang bersuka cita, namun Adi merasa bahwa dirinya harus melakukan sesuatu untuk lebih berkontribusi pada peringatan kemerdekaan.

Setelah parade usai, Adi bertanya pada kakeknya, "Kakek, bagaimana saya bisa berkontribusi untuk negara ini seperti Anda? Saya ingin menjadi pahlawan seperti kakek." Kakeknya tersenyum dan berkata, "Kamu masih muda, Adi, namun semangatmu menginspirasi. Sebagai seorang pahlawan, tidak selalu harus melawan musuh dengan senjata. Dalam kehidupan damai, kamu bisa menjadi pahlawan dengan cara lain. Berusahalah menjadi orang yang baik, rajin belajar, dan selalu siap membantu orang lain."

Mendengar nasihat kakeknya, Adi merasa lebih bersemangat. Dia membaca banyak buku tentang sejarah kemerdekaan dan pemimpin negaranya. Setiap kali ada acara peringatan kemerdekaan, Adi berusaha tampil sebagai perwakilan siswa dan memberikan pidato yang menginspirasi tentang arti kemerdekaan dan pentingnya mempertahankan nilai-nilai kebangsaan.

Adi juga aktif di kegiatan sosial dan lingkungan. Dia mengajak teman-temannya untuk membersihkan sungai yang tercemar dan menanam pohon di sekitar desa. Dia menyadari bahwa mencintai negeri tidak hanya dengan menghafal lagu kebangsaan, tetapi juga dengan tindakan nyata untuk menjaga alam dan lingkungan hidup.

 

 

Suatu hari, ketika Adi sedang membantu di ladang, dia melihat sekelompok anak-anak bermain di tanah yang gersang dan tandus. Dia bertanya kepada orangtuanya tentang anak-anak itu, dan mereka menjelaskan bahwa keluarga mereka kehilangan pekerjaan karena ladang itu tidak menghasilkan banyak. Adi merasa prihatin melihat kondisi mereka dan mendapatkan ide. Dia mengajak teman-temannya untuk membantu mengolah lahan kering itu menjadi kebun produktif dengan berbagai tanaman. Mereka juga mengajari keluarga tersebut tentang pertanian organik, yang lebih ramah lingkungan dan menghasilkan produk berkualitas.

Berbulan-bulan berlalu, dan kebun itu berkembang subur. Keluarga yang tadinya putus asa kini memiliki sumber penghasilan yang berkelanjutan. Keberhasilan ini menyebar ke desa-desa tetangga, dan Adi menjadi panutan dalam membangun kemakmuran melalui inovasi dan kerja keras.

Di hari kemerdekaan berikutnya, saat Adi memberikan pidato peringatan, seluruh desa terkesima dengan cerita keberhasilannya mengubah tanah kering menjadi ladang subur. Semangat kemerdekaan yang tumbuh dalam diri Adi telah menginspirasi banyak orang di desanya, dan mereka mulai melihat bahwa merdeka juga berarti memiliki kemandirian dan menciptakan perubahan positif untuk masyarakat. Kakek Adi menyaksikan cucunya dengan bangga. Dia tahu bahwa semangat kemerdekaan tidak pernah mati, dan generasi muda seperti Adi akan meneruskannya ke masa depan. Mereka adalah harapan bagi negara ini untuk terus maju dan berkembang.

Dalam perayaan kemerdekaan berikutnya, Adi berdiri di tengah lapangan, bendera merah putih berkibar di belakangnya. Suara gemuruh tepuk tangan merayakan semangat patriotik dan kemerdekaan. Semua orang menyadari bahwa kemerdekaan adalah tanggung jawab bersama untuk menciptakan perubahan, dan setiap individu memiliki potensi untuk menjadi pahlawan. Adi tahu bahwa perjuangan untuk kemerdekaan tidak pernah berakhir, dan dia siap menjalani peran pahlawannya seiring berjalannya waktu. Semangat kemerdekaan itu akan selalu membimbingnya untuk menjadikan negaranya lebih baik dan berarti bagi semua warganya.

Read more...

DIRGAHAYU INDONESIA KU

DIRGAHAYU INDONESIA KU

 Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh. Namaku Salma, aku sekarang duduk di kelas 6 SD. Di sini aku akan bercerita tentang pengalamanku tentang hut kemerdekaan negeriku Indonesia tercinta. Setiap tahunnya di bulan Agustus, seluruh penduduk Indonesia sangat antusias dan bersemangat menyambut kemeriahan hari kemerdekaan negeri Indonesia. Di awal bulan Agustus, kita pasti akan melihat banyak warna-warni kemeriahan hiasan-hiasan dan pernak - pernik di tiap-tiap kota hingga pelosok negeri. Dengan didominasi warna merah dan putih yang di ambil dari warna bendera Indonesia.

Penduduk negeri mulai dari yang tua hingga yang muda bapak,ibu,dan anak - anak sangat menanti acara – acara meriah untuk merayakan nya. Berbagai macam perlombaan yang sangat di tunggu – tunggu para penduduk Indonesia tercinta . mulai dari instansi seperti kantor , sekolah hingga di lingkungan perumahan pasti mengadakan perlombaan . juga ada acara – acara lain nya seperti pentas seni , doa Bersama , potong tumpeng , bazar atau pasar malam , dan jalan sehat bersama. Acara puncak nya yaitu upacara bendera pada tanggal 17 Agustus.

Di sekolah ku setiap hut kemerdekaan RI , juga mengadakan perlombaan untuk memeriahkannya . Tidak  terlewatkan upacara bendera dimana para murid sangat bersemangat melakukan Latihan upacara di minggu – minggu sebelumnya. Aku sangat senang dan bersemangat setiap mengikuti upacara bendera hut RI. Tiap jenjang kelas perlombaan yang diadakan berbeda-beda. Kelasku kegiatan lombanya yaitu tapak jejak. Kalau tahun sebelumnya ketika aku di kelas 5, lombanya yaitu menebak nama-nama para pahlawan. Keseruan lomba di sekolah selalu membuat aku bersemangat untuk mengikutinya. Bulan Agustus adalah bulan yang ditunggu-tunggu anak-anak di sekolahku. Karena sekolah pasti mengadakan lomba-lomba yang sangat menarik.

Apalagi kemeriahan di pelosok negeri. Akan sangat kreatif dan bervariasi macam-macam lombanya. Di lingkungan rumahku juga sudah dimulai perlombaan kecil-kecil yang dilakukan di sore hari maupun malam hari. Untuk adik-adik kecil yaitu lomba makan kerupuk dan lomba memasukkan paku dalam botol. Seru dan sangat lucu ketika aku ikut menyaksikan lomba adik-adik di kampungku. Aku mencoba mengikuti lomba kelereng, lomba menyunggi tempeh dan lomba memasukkan benang dalam jarum tanpa kacamata. Mamaku juga tidak ketinggalan untuk ikut lomba menyunggi tempeh. Canda tawa, berseri-seri yang keperhatikan wajah-wajah orang-orang disekitarku. Menandakan kebahagiaan yang mendalam di hati negeriku. Semua bersatu tanpa ada perbedaan, kerukunan antar sesama semakin erat.

Di desa ku Batu juga tak kalah meriahnya acara-acara yang diadakan. Semua rakyat Indonesia menyambut hut RI dengan keceriaan. Para bapak-bapak tentu sangat menunggu lomba panjat pinang. Para remaja usia 17 tahun ke atas boleh mengikuti lomba tersebut. Kebetulan rumahku berada di depan lapangan tempat dilaksanakan lomba panjat pinang. Pukul 3 sore warga sudah berbondong-bondong datang untuk menyaksikan perlombaan ini. Tak ketinggalan para pedagang juga datang berkesempatan untuk menjajakan dagangannya. Hadiah yang diberikan juga sangat menarik, Dimulai hadiah utama hingga hadiah hiburan, semua peserta mengikuti lomba dengan khidmat dan bersemangat. Menang kalah yang penting adalah kebersamaan, keceriaan, kemeriahan, dan tidak luput dari rasa persaudaraan yang sangat kuat. Lomba panjat pinang merupakan lomba yang bisa dibilang lomba inti yang harus ada di setiap perayaan hut kemerdekaan RI. Aku ikut mensuport dan ikut meneriakkan semangat untuk para peserta.

Itu tadi sedikit cerita pengalamanku tentang hut kerdekaan RI yang bisa aku bagikan. Seperti yang aku jelaskan di tiap momen nya pasti ada keceriaan, kebersamaan, semangat, dan rasa nasionalisme yang tinggi dari rakyat Indonesiaku tercinta. Semoga terus berkembang Indonesiaku dan selalu bersatu mempertahankan Indonesia maju. Untuk para pahlawan negeriku, terimakasih dan jasamu akan selalu kukenang. Dirgahayu Indonesiaku yang ke 78.

Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh.

 

 

Detail Karya Tulis

 

Nama: Salma Safier Bobsaid

Kelas: 6B

Tema: Kemerdekaan

Ditulis pada: 5 Agustus 2023

 

Read more...

ACARA 17 AGUSTUS DI KAMPUNG

ACARA 17 AGUSTUS DI KAMPUNG

 

Pada awal Agustus di kampung saya yaitu di Kalimas udik 3 selalu diadakan acara untuk memperingati hari kemerdekaan negara Indonesia dengan berbagai kegiatan yaitu lomba, bazar dan acara taptu. 

Kegiatan lomba yang dilakukan di kampung saya ada lomba masukkan paku dalam botol, adzan, amplop rahasia, jeruk dalam air, balap karung, tarik tambang, memecahkan balon.

Lomba dilaksanakan setelah isya.

Saya mengikuti semua lomba yang dilakukan di kampung saya kecuali adzan. Pada saat lomba Paku dalam botol saya tidak benar karena saya merasa kesulitan untuk memasukkan Paku dalam botol akan tetapi kakak saya memenangkan lomba tersebut dan meraih juara 1. Untuk lomba aplikasi yang menurut saya adalah lomba yang sangat seru karena saya di tanah untuk menemukan barang yang sebelumnya saya tidak tahu apa yang ditaruh di amplop. Lalu saya pulang ke rumah untuk mengambil barang tersebut dan yang paling cepat akan memenangkan pertandingan. Namun untuk lomba ini saya kalah, karena saya kurang cepat dari lawan saya untuk mengambil barang dari rumah.

Di hari berikutnya, lomba jeruk dalam air dilaksanakan. Lomba jeruk dalam air serta lomba dituntut untuk bisa mengambil jeruk dalam air menggunakan mulut, untuk lomba ini saya mendapatkan juara 1, karena saya terbiasa berlatih berenang dan menyelam hingga Saya tidak kesulitan untuk mengambil jeruk yang ada di dalam air. Untuk lomba tarik tambang saya berkelompok dengan 5 orang, akan tetapi untuk lomba ini kelompok kami kalah, karena kurangnya kerjasama di antara kelompok kami.

Di tanggal 16 Agustus malam bertepatan dengan acara taptu, pembagian hadiah dilaksanakan. Para pemenang lomba mendapatkan hadiah yang mereka Raih saat pertandingan lomba berlangsung. Nama saya dipanggil sebagai pemenang lomba jeruk dalam air Saya sangat senang menerima hadiah. Setelah itu acara taptu dimulai ketua RT dan ketua rw memberikan sambutan, setelah itu ketua rw menyuruh kita untuk Mengheningkan Cipta untuk menghargai jasa-jasa pahlawan yang telah gugur demi kemerdekaan bangsa kita. Setelah Mengheningkan Cipta, dilanjutkan dengan acara tari-tarian banyak sekali tari-tarian yang ditampilkan oleh anak-anak kampung saya ada tarian tradisional seperti tari serimpi tari kecak dan tari kipas. Tarian tersebut sangat indah saya sangat kagum dengan para penari karena mereka melakukan tarian dengan sangat rapi dan indah. Setelah tarian tradisional ada tari modern seperti tari hip hop, dance cover.

Setelah tari-tarian, acara selanjutnya adalah drama. Drama tersebut adalah drama Malin Kundang, drama Malin Kundang menceritakan mengenai seorang anak yang durhaka kepada ibunya, dari drama tersebut saya bisa mengambil hikmah jika berbakti kepada orang tua merupakan hal yang sangat penting. Setelah acara selesai panitia acara membagikan makanan kepada kami. Makan disajikan sangat enak menurut saya dan kami makan bersama,setelah itu acara pun selesai saya pulang dengan sangat kenyang dan senang.

Di rumah saya membuka hadiah yang saya raih dari menang perlombaan, setelah saya buka hadiahnya adalah buku tulis dan alat tulis. Hadiah ini sangat berguna bagi saya untuk sekolah untuk sekolah dan belajar.

Keesokan paginya saya mengikuti upacara bendera di sekolah, menurut saya upacara bendera pada hari kemerdekaan adalah hal yang penting bagi bangsa indonesia untuk memperingati hari kemerdekaan

Itu adalah pengalaman saya selama acara Agustusan di kampung saya, sangat seru dan menyenangkan.

 

Nama : Suhail Bahaswan

Kelas : 6C

No. Absen : 21

 

Read more...

AL IRSYAD SURABAYA UNTUK 78 TAHUN KEMERDEKAAN INDONESIA

AL IRSYAD SURABAYA UNTUK 78 TAHUN KEMERDEKAAN INDONESIA

MUHAMMAD KAHFI – KELAS 5D

SD AL IRSYAD SURABAYA

           

Kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa. Hal ini seperti tercantum di UUD 1945 alinea pertama. Indonesia telah diberkahi dengan kemerdekaan selama 78 tahun. Ini semua adalah berkah bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya kami generasi penerus bangsa, generasi muslim Al Irsyad Surabaya yang akan meneruskan perjuangan kemerdekaan para pahlawan kami yang telah gugur dalam peperangan untuk merebut kemerdekaan dari penjajah. Hal ini menjadi kebanggaan kami dan semangat baru kami, sebagai generasi penerus bangsa sekaligus generasi cendekia muslim Al Irsyad Surabaya merupakan sesuatu hal yang sangat kami syukuri.

            Dengan menjadi murid Al Irsyad Surabaya, kami banyak belajar tentang kemerdekaan dan cara mengisi kemerdekaan yang baik dan sesuai dengan syariat islam. Kami bangga menjadi kedua bagian itu, karena hal ini merupakan suatu keuntungan yang tidak dimiliki oleh semua anak. Al Irsyad sebagai sekolah kami, yang selalu mengarahkan kami untuk menjadi generasi yang bermanfaat dan juga mengembangkan potensi kami agar menjadi anak yang sholih, disiplin, berakhlakul karimah dan memiliki prinsip perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

            Salah satunya dengan mengadakan lomba menulis kreatif yang mampu menggali potensi kami, ide kami, dan kreativitas kami sebagai generasi penerus bangsa yang bertanggung jawab akan keberlanjutan kemerdekaan Indonesia. Ide kami dapat tertuang dengan sangat baik melalui ajang lomba menulis kreatif yang diadakan disekolah Al Irsyad Surabaya.

            Sebagai generasi penerus bangsa yang berakhlakul karimah, jelas kami bertanggung jawab atas kemerdekaan ini harus berdasarkan dengan pondasi yang tepat. Salah satunya dengan berprinsip pada ajaran islam, yang telah diajarkan sekolah kami dengan menjadi anak yang sholih serta memiliki nasionalisme dengan menghargai banyaknya perbedaan, serta  hiroh yang besar untuk bisa bertahan dalam kondisi apapun. Salah satu contoh karakter anak al irsyad sebagai perwujudan generasi penerus bangsa yang berakhlaqul karimah adalah dengan cara tidak saling bertengkar dengan teman walaupun berbeda pendapat. Menyelesaikan masalah dengan cara musyawarah dan voting seperti yang diajarkan dalam Pancasila sila ke 4 dan juga yang telah diajarkan oleh Islam tentang perdamaian dengan saudara sesama muslim.

            Selain itu, kami juga memiliki semangat belajar hal yang baru dan tidak menutup kemungkinan terhadap perubahan sesuai jaman dengan kemajuan teknologi. Kami tidak gampang jatuh ke dalam godaan teknologi yang mampu menarik kami seperti Game online dan hal yang melalaikan kami sebagai muslim. Karena selama disekolah, kami selalu dididik dengan baik oleh bapak dan ibu guru kami, agar selalu mengingat Allah, serta memiliki nasionalisme yang luar biasa untuk mempertahankan kemerdekaan.

            Kami bangga, telah menjadi salah satu bagian dari Al Irsyad Surabaya yang turut serta dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dari tahun ke tahun hingga hari ini. Kami bangga telah mendapatkan kesempatan ini, yang tentunya tidak semua orang bisa miliki. Al irsyad Surabaya adalah Lembaga yang turut serta dalam mengajarkan kami untuk terus memiliki mimpi yang besar untuk kemajuan negara Indonesia dalam berbagai bidang dan tentunya tidak lupa dengan hakikat kami sebagai muslim.

            Menurut saya, Al irsyad menjadi jawaban kami untuk mengisi kemerdekaan dengan hal hal yang bermanfaat dan tentunya tidak meninggalkan syariat syariat islam yang terkandung dalam sila pertama yakni ketuhanan yang maha esa. Dengan menjadi murid Al irsyad saja, kami sudah berperan menjadi murid yang ikut melaksanakan dan mengisi kemerdekaan dengan cara yang berbeda dengan generasi penerus bangsa pada umumnya. SemogaAl irsyad terus berkibar, terus menjadi sekolah yang mendidik murid muridnya menjadi murid yang memiliki nasionalisme yang tinggi dan berakhlak mulia

Read more...

Merdeka Berjuang

Oleh

Ernis Kurnia Puspasari, S.Pd

 

"Srek..srek.."suara langkah menyeret yg khas.."sreeet" Dhika sigap menyetel Hp mode kamera on."cekrek..cekrek.."entah berapa kali jepretan diambil dengan obyek kakek yang sedang memanggul karung berjalan dengan langkah tertatih dan menyeret.Meski dari balik daun pepohonan tapi Dhika masih bisa mengambil foto dengan angle yang bagus.Jemarinya berhenti menjepret setelah kakek itu membuka pintu rumah yang sangat sederhana dan menghilang dibalik pintu.Dhika menghempaskan tubuhnya direrumputan tempat dia bersembunyi

"Alhamdulillah..akhirnya kutemukan juga tempat tinggal kakek itu"gumam Dhika sembari melihat - lihat lagi hasil foto fotonya.

"Oke,cukup untuk hari ini"gumam Dhika sembari menyimpan ponsel dalam saku kemejanya,berdiri menyandang tas ransel dan segera beranjak pergi dari tempat persembunyiannya.

 

Dhika merebahkan tubuhnya dikasur empuk kamarnya,dengan berbantal kedua tangan matanya merawang kelangit langit kamar.

"Ciiit" suara rem yang bergesekan dengan aspal jalanan itu membuat Dhika yang sedang berdiri didepan kampus terlonjak,hampir saja motor itu menabrak seorang kakek yang sedang berdiri membungkuk menata mainan dagangannya yang digelar ditepi jalan.

Dhika ingin sekali menghampiri pemotor itu tapi terlambat karena pemotor itu segera berlalu dengan menggeber motornya ugal ugalan.Dhika melihat sang kakek pedagang itu hanya menggeleng gelengkan kepalanya dan tersenyum pada pemotor yg hampir saja mencelakainya,Dhika ingin menghampiri kakek itu tapi setelah melirik jam tangannya,Dhika ingat kalau 5 menit lagi ada jam kuliah,Dhika menengok kembali kakek itu untuk memastikan bahwa beliau baik baik saja kemudian berlalu masuk kampus untuk kuliah.

Semenjak kejadian itu Dhika jadi sering memperhatikan kakek penjual mainan itu dari seberang kampusnya,entahlah Dhika begitu penasaran dengan kakek itu,karena dalam pengamatannya kakek itu seringkali mengelus elus mainan tembak tembakan dagangannya,mainan itu terbuat dari gabus seperti home made bukan buatan pabrik,tidak hanya mengelus tapi juga melakukan gerakan seolah olah sedang mengokang senjata.Dhika pernah melihat kakek itu juga menghampiri seorang anggota TNI berpakaian doreng yang sedang melintas lalu memeluknya, berbincang bincang dan kemudian sang bapak TNI terlihat mengusap dan memeluk sang kakek yang sesenggukan.Pernah juga Dhika memergoki kakek itu mendongak lama menatap bendera yang berkibar kibar dipinggir jalan,kemudian dia mengusap usap matanya.Dhika juga pernah memperhatikan kakek itu berdiri tegak dibalik pagar kampusnya saat ada upacara berlangsung dikampusnya.kakek juga ikut hormat bendera saat peserta upacara melakukan gerakan hormat bendera.Dhika memotret semua kejadian itu.

Aah.. Dhika mengusap wajahnya bayangan tentang pertemuan dengan kakek itu mengusiknya hingga membuat Dhika ingin mengenal kakek itu lebih dalam.Dhika memang ingin sekali menghampiri beliau saat berdagang, tapi Dhika selalu tak punya kesempatan, jadwal kuliah dan kegiatan organisasi yang padat membuat Dhika tak banyak punya waktu luang, Saat ada waktu sang kakek sudah pulang.

Suatu sore Dhika membuntuti kakek itu saat pulang dan bersembunyi dibalik daun pepohonan untuk mengetahui rumahnya. Besok hari Minggu Dhika akan mendatangi rumah kakek itu,karena biasanya hari minggu kakek libur jualan.

Sinar mentari bersinar hangat,ditingkahi cuit cuit burung yang bernyanyi,beterbangan kesana kemari dengan ceria bercanda dengan teman temannya,seolah olah menyerukan pada manusia untuk selalu bahagia dan bersyukur atas segala nikmat Allah SWT sang Pencipta.

Dhika melangkahkan kakinya perlahan dan berhati hati,Jalan yang sempit berdempetan dengan sungai yang penuh sampah membuatnya menutup hidung.

Dhika menghela napas dan berhenti didepan pintu yang terbuka sedikit.

"Assalamualaikum..Permisi.." ucap Dhika dan langsung berbalas salam dengan suara serak dari dalam rumah"Waalaikumsalam"

"Cari siapa nak?"tanya kakek sang pemilik rumah dibalik pintu

"Saya Dhika kek,mau bertemu dengan kakek, saya sering melihat kakek berjualan diseberang kampus saya" jawab Dhika yang sempat bingung mau bilang apa.

"Ooh..iya ya..mari masuk" kata kakek sambil membuka pintu lebih lebar.

"Duduk dulu nak" kakek mempersilahkan.

Dhika perlahan duduk dikursi kayu yang sudah usang dengan mata yang menyapu dinding rumah,mulutnya ternganga saat melihat banyak tanda jasa,foto foto,dan kopiah oranye veteran."Maaf y nak rumahnya sederhana banget, dan maaf kakek sengaja memasang semuanya karena kakek ingin selalu mengingat masa masa indah itu" ujar kakek seolah paham dengan ekspresi Dhika.

"Ooh maaf kek,saya justru terpesona melihatnya,keren banget kek" jawab Dhika

"Hanya itu yang bisa kakek kenang nak"

"Hmmm..anak muda ini ada keperluan apa sama kakek?" Tanya kakek dengan wajah teduh dan tersenyum.

"Hmmm..maaf kek,saya kuliah dikampus MERDEKA, seberang kakek berjualan mainan,mohon maaf saya sering memperhatikan kakek dan memfoto kakek,karena saya terkesan dengan kakek,mohon maaf ya kek" Dhika berhati hati dalam kalimat kalimatnya sambil menatap mata kakek dengan lembut.

"Apa yang membuatmu terkesan nak?" Tanya kakek sambil tersenyum ramah.

"Hmmm..mohon maaf bahkan saya belum tahu nama kakek"

"Nama saya ini artinya bagus nak,hanya saja sudah kuno" ucap sang kakek sambil terkekeh menampakkan deretan giginya yang hanya tinggal beberapa saja,tapi meski begitu guratan ketampanan masih tergambar diwajah teduhnya.

"Lha kakek bisa saja,tidak apa apa kuno kek,yang penting artinya bagus" Dhika menimpali dengan tertawa sopan,tidak menyangka sang kakek punya selera humor juga.

"Nama kakek Panut nak Dhika" jawab kakek sambil tersenyum.

"Ooh kakek Panut..saya terkesan sama kakek karena ini kek" ucap Dhika sambil menggeser duduknya mendekat pada kakek,Dhika menunjukkan beberapa foto dengan obyek kakek Panut

Mata kakek berkaca kaca dan buliran buliran bening tak terasa menetes dipipi kakek.

"Maaf kek,Dhika tidak bermaksud.."belum selesai Dhika bicara kakek sudah memotong."Terimakasih foto fotonya nak,kakek memang begitu orangnya,kakek tak pernah lupa semua cerita di masa lalu,mata kakek menerawang dan dari mulutnya mulai mengalir cerita

Kilatan api yang menyambar nyambar,teriakan takbir,teriakan kesakitan dan suara bising tembakan bersahutan,Panut muda bersembunyi dibalik tumpukan karung yang disusun untuk tempat perlindungan,senjatanya diarahkan kearah penjajah sembari berteriak agar teman temannya berlindung dan membawa temannya yang terluka keluar dari medan pertempuran,dengan tetap fokus menembak Panut muda berlari menjauh untuk mundur dari medan pertempuran kembali ke posko bersama teman temannya" Dorrrr" suara tembakan bersambut dengan teriakan kesakitan Panut muda karena telapak kakinya tertembak penjajah,bersyukur teman-temannya segera menyeretnya dan memapah menyelamatkannya,kakinya dirawat belum sembuh benar masih dengan kaki yang dibebat kain.Panut muda dengan gagah berani maju kembali ke medan perang,peristiwa itu yang membuat kakinya harus berjalan menyeret sampai sekarang.Kakek bercerita setelah melihat foto saat dia mengelus elus tembak mainan yang dijualnya.

Kakek juga selalu senang dan bangga bahkan terharu saat melihat bapak bapak dengan pakaian doreng,terlihat gagah seperti kakek dulu,kalau sekarang sudah bungkuk hehhehe" kakek bercerita dengan tertawa memegang punggungnya yang langsung disambut Dhika dengan mengelus elusnya.Dipundak mereka lah sekarang nasib bangsa ini karena mereka abdi negara yang harus selalu ada digaris terdepan untuk kedaulatan bangsa. Begitu cerita kakek saat melihat foto fotonya dengan sang bapak TNI.Pertempuran demi pertempuran telah dilalui dengan gagah berani,berbagai bintang jasa Panut muda terima,bukan itu yang membuatnya bahagia tapi pekik proklamasi kemerdekaaan yang membuatnya sangat bahagia dan bersujud syukur mendengar lagu Indonesia Raya dikumandangkan dan Bendera merah putih yang dikibarkan tanpa sembunyi sembunyi lagi itu yang membuatnya sampai sekarang selalu terharu jika melihat bendera dikibarkan dan jika melihat upacara bendera.

"Begitulah nak,kakek bersyukur pernah menjadi bagian dari perjuangan kemerdekaan Indonesia, iya kakek dulu seorang pejuang, seorang veteran, kakek masih sehat,masih diberi umur panjang, kakek masih kuat berjuang,jadi kakek berjuang mengisi kemerdekaan ini dengan berjualan mainan,karena setiap kakek melihat anak anak kecil yang lewat atau yang membeli mainan kakek, kakek tersenyum dan berdoa untuk mereka agar tidak mudah menyerah berjuang untuk menggapai cita cita sebagai generasi muda penerus perjuangan bangsa yang kelak bisa mengangkat derajat bangsa Indonesia menjadi negara maju sejahtera yang disegani bangsa bangsa di seluruh dunia" kakek Panut menyeka air matanya, begitu juga Dhika."Dan kamu juga nak Dhika,ajaklah teman temanmu agar menjadi pejuang sejati yang tidak mudah menyerah,ditanganmulah wahai anak muda nasib bangsa ini disematkan" kakek Panut menepuk nepuk pundak dhika, Dhika memeluk kakek Panut, dalam hatinya Dhika berjanji akan memperjuangkan nasib kakek Panut dan teman temannya sebagai veteran dan memperjuangkan nasib bangsa ini dengan teman temannya mahasiswa generasi penerus bangsa.Terimakasih kakek Panut yang sudah menginspirasi,sesuai namamu Panut,engkau memang layak menjadi Panutan,dan sesuai nama yang disematkan orangtuaku untukku yaitu Mahardhika yang artinya kemerdekaan, maka beruntungnya aku seorang yang mendapatkan panutan kemerdekaan.

 

Sejatinya perjuangan itu tidak pernah berhenti,kalau dulu kita berjuang meraih kemerdekaaan,sekarang kita berjuang mengisi kemerdekaan,jangan pernah menyerah,Raihlah cita citamu dengan berjuang,berjuang untuk hidup bermanfaat untuk sesama,Hablumminallah dan Hablumminnaas dimanapun kita apapun profesi kita,kita semua sedang berjuang dengan cita cita kita masing masing,tetapi satu tujuan untuk masa depan bangsa.itulah yang dinamakan merdeka berjuang.

Read more...

Semarak Lomba Kemerdekaan

SEMARAK LOMBA KEMERDEKAAN  

By : Dylan Hakka

 

Di sore hari, tanggal 14 Agustus 2017. Aku dan dua temanku, Rizki dan Bisma sedang bermain di belakang rumah kami.“Oiya rek, kalian sudah daftar lomba buat tanggal 17 besok ta?” ucap Rizki. Bisma dan Aku sekejap saling menatap, kebingungan akan apa yang disampaikan oleh Rizki. Bisma pun berkata, ”Lomba tanggal 17?” “Iya, kan habis upacara, Pak Ali dan Pak Galih mau mengadakan macam-macam lomba buat warga sekitar.” sahut Rizki. Aku berkata, “Bukannya lomba-lomba buat remaja sama orangtua aja ya?”, Rizki menjawab, “Enggak, katanya ada lomba buat anak-anak juga, misalkan lomba menghafalkan Pancasila, sama lomba campuran yang bisa diikuti semua kalangan, lomba estafet karet misalkan.”, Bisma pun bertanya lagi, “Emang lomba buat anak-anak cuma menghafal Pancasila doang?” “Enggak tau, tapi setahuku cuma itu aja sih, gimana kalo kita nanya sama Pak Ali?” Rizki menyarankan. “Ya sudah ayo kita ke Pak Ali daripada bingung sendiri.” Kataku. Kami bertiga pun berinisiatif untuk pergi ke rumah Pak Ali. Tepat setelah kami berada di depan rumah Pak Ali dan hendak menyalakan bel rumahnya, Pak Ali pun tiba-tiba datang dari belakang dengan sepeda motornya. “Assalamualaikum, kalian ada perlu apa ke rumah saya sore-sore begini?” ujar Pak Ali selagi mematikan sepeda motornya dan membawa barang belanjaan berupa baju merah putih. “Waalaikumussalam, Begini pak, Saya, Bisma dan Dylan mau daftar lomba, kira-kira bisa dijelaskan tidak pak mengenai lomba apa saja yang bisa kami ikuti dan pelaksanaannya?”, kata Rizki dengan sedikit keraguan. Pak Ali pun menjelaskan, “Kalau seumuran kalian ada 2 lomba yang bisa diikuti, yaitu ada menghafalkan Pancasila dan satunya lagi menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.” “Kalau untuk pelaksanaannya, lomba menghafalkan Pancasila dilakukan jam 09.00 – 09.30, pemenangnya adalah yang paling hafal dan bagus dalam melafalkan Pancasila, juga tidak terbata bata dalam mengucapkan.” Pak Ali menegaskan. Bisma lagi-lagi berkata dengan agak bingung, “Kalau untuk lomba menyanyikan Indonesia Raya bagaimana pak?”. Pak Ali pun menjawab,“Untuk menyanyikan Indonesia Raya dilaksanakan sebelum lomba menghafalkan Pancasila, pukul 08.25 – 09.00, kalau untuk juaranya adalah yang paling merdu suaranya dan paling menghayati ketika bernyanyi, juga lirik yang pas dan tepat serta tempo yang sesuai dengan lagunya.” Aku berkata,”Berarti juaranya cuma 1 anak aja pak?” Pak Ali kembali menjawab,”Enggak, nanti bakal diambil 3 juara terbaik dari masing masing lomba.” Selesai untuk menanyakan lomba-lomba, Rizki pun bertanya lagi,”Pendaftarannya ada dimana Pak?” “Kalau mau daftar bilang saya aja, nanti saya juga bilang Pak Galih.” sahut Pak Ali. “Baik Pak, saya sama yang lain akan berpikir dulu di rumah buat lombanya.” kata Rizki seolah sedang buru-buru. Pak Ali kemudian membalas,”Baik Ki kalo gitu, saya juga mau siap siap mandi dan pergi shalat maghrib di musholla, Assalamualaikum.” Kami dengan berbarengan menjawab,”Waalaikumussalam.” Kami pulang ke rumah masing-masing dan mandi sehabis bermain di belakang rumah. Setelah adzan berkumandang, Aku pun segera berganti baju untuk pergi ke musholla belakang rumahku dan mendaftarkan diri untuk mengikuti salah satu lomba. Aku pun berjumpa lagi dengan Rizki dan Bisma, menunggu waktu iqomah. “Kau jadinya ikut apa Lan, menghafal Pancasila atau nyanyi Indonesia Raya?” Tanya Bisma, Aku menjawab,”Aku mungkin ikut menghafal Pancasila, suaraku gak enak buat nyanyi, kalo kamu Bis?” Bisma berkata lagi,”Aku mungkin ikut lomba menyanyikan Indonesia Raya aja, barangkali nanti keterusan jadi penyanyi terkenal.” Rizki tertawa terbahak-bahak akan pernyataan Bisma, Bisma pun sedikit marah mendengar tawaan Rizki,”Udah gak usah nertawain kau, mau ikut lomba apa kau Ki?” Rizki menjawab,”Aku paling ikut lomba estafet karet, biar gak kelamaan.” “Kelamaan apa Ki?” Tanya Bisma. “Ya kelamaan nunggu keputusan juri, kan kalau estafet karet juaranya sudah pasti.” Kata Rizki. Tak terasa iqomah sudah terdengar dan kami bergegas mengambil air wudhu lalu shalat. Disaat jalan pulang Pak Ali pun menyapa kami tentang keputusan mengikuti lomba,”Dylan, Rizki, Bisma sudah menentukan mau ikut lomba apa?” “Sudah Pak, Saya mau ikut lomba menyanyi, kalau Dylan mau ikut lomba menghafal Pancasila.” Sahut Bisma. “Kalau kamu gimana Rizki?” Tanya Pak Ali pada Rizki yang sedang minum air gelas dari dalam masjid. “Saya ikut lomba estafet karet saja Pak.” Ujar Rizki, Pak Ali berkata lagi,”Kalau kamu mau menanya detail dari lomba estafet karet, tanya dengan Pak Galih, beliau yang pegang acaranya.” “Baiklah kalau begitu Saya pulang duluan, Assalamualaikum.” Kata Pak Ali dengan memegang air minum gelas dari dalam masjid, hendak meminumnya. “Waalaikumussalam.” Kami bertiga menjawab, akhirnya kami pun pulang ke rumah masing-masing untuk istirahat sejenak lalu bersiap shalat isya’. Sampai di rumah Aku pun melanjutkan menghafal Pancasila, sangat sulit diawal tapi lama kelamaan terbiasa dengan hafalan tersebut. Sampailah pada tanggal 17 Agustus, setelah upacara kemerdekaan di kantor sebelah rumahku, warga pun beramai-ramai datang ke tempat pelaksanaan lomba. Untuk lomba pertama adalah menyanyikan lagu kebangsaaan Indonesia Raya. Lumayan banyak orang yang mengikuti lombanya, tapi setengah dari waktu yang seharusnya digunakan untuk mendengarkan mereka bernyanyi sudah ku pakai untuk melafalkan lagi Pancasila yang akan di lombakan nanti. Waktu berjalan, lambat laun satu persatu kontestan yang ingin bernyanyi sudah selesai, sudah waktunya untuk lomba berikutnya yaitu lomba menghafal Pancasila. Aku mendapat nomor urut 3, jadi setidaknya aku bisa mendengarkan peserta yang lain melafalkannya terlebih dahulu. “Yaak penampilan yang bagus dari peserta kedua! Selanjutnya adalah penampilan ketiga untuk lomba menghafalkan Pancasila, Ananda Dylan Hakka!” Tak disangka sudah waktunya aku maju ke depan, mendengar namaku disebut di depan orang banyak membuatku gemetar, tapi aku harus bisa memenangkan pertandingan ini. ”Pancasila, 1. Ketuhanan Yang Maha Esa, 2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh…” Aku berhenti sejenak, sedikit lupa akan kalimat yang ingin kuucapkan, aku menghela napas dan mencoba untuk tenang,”Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, 5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” “Tepuk tangan semuanya untuk peserta ketiga! Selanjutnya untuk peserta keempat silakan maju kedepan!” Aku bertanya dalam pikiranku apakah aku sudah menyebut semuanya dengan benar. Badanku gemetar dan penuh dengan rasa malu. Apakah aku salah menyebut sila keempat dari dasar negara Indonesia itu? Kepercayaan diriku serasa hangus ketika turun dari panggung. Akan tetapi, melihat Ayah, Ibu, dan kawan-kawanku menyorakiku membuatku semangat kembali. Pikirku, masih ada kesempatan untuk bisa mendapatkan juara. Lomba yang ketiga adalah Lomba Estafet Karet, lomba ini dilakukan oleh 6 orang dan membutuhkan kekompakan serta ketepatan. Para peserta harus berdiri pada garis lurus yang sudah disediakan oleh juri. Setiap peserta akan mendapatkan 1 stik yang harus mereka gigit dengan gigi mereka untuk bisa menyalurkan karet dari ujung stik dan sampai pada peserta terakhir. Kelompok yang paling cepatlah yang akan memenangkan lomba tersebut. Sayang sekali temanku Rizki kalah pada babak final, setidaknya dia sudah melakukan yang terbaik. Waktu sudah menunjukkan pukul 11.20, acara akan segera selesai. Pada sesi terakhir, akan ada pemilihan juara dan pembagian hadiah kepada para juara tersebut. “Baiklah Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekalian, tidak ingin membuat acara semakin lama, maka akan segera Saya umumkan, juara pertama untuk lomba menghafal Pancasila adalah…” Badanku merinding mendengar perkataan juri itu, rasa putus asa mulai menyelimuti diriku, sampai juri berkata, “Ananda Dylan Hakka!!” Aku kaget mendengar namaku disebut. Teman-temanku pun menyorakiku dan mengucapkan selamat kepadaku. Aku dan Bisma pun akhirnya naik ke atas panggung untuk penyerahan hadiah, karena dia juga memenangkan kontes menyanyi juara ketiga. Hadiahnya berupa sejumlah buku dan beberapa pensil, tidak banyak tapi patut disyukuri. Kami pun turun dari panggung dengan perasaan bangga dan senang. Walaupun teman kami, Rizki tidak sempat menjadi juara, setidaknya Aku dan kawan-kawanku mendapatkan keseruan dan kesenangan dalam mengikuti lomba ini.

Read more...

ARUTALA

By: Yasmin Najah Rania

 

              Arshaka najendra sosok yang selalu dipandang sempurna oleh teman temannya  namun siapa sangka di balik itu semua ia menyimpan luka yg begitu dalam di karenakan tekanan dari orang orang terdekatnya tak terkecuali orang tuanya. Sejak kecil hidupnya sudah diatur ia merasa bahwa hidupnya ini seperti robot yang sudah terprogram oleh system. Namun ia selama ini hanya diam dan selau berpikir bahwa ini yang terbaik untuk nya.

 

Kini ia sudah berusia 15  tahun yang artinya ia akan duduk di bangku sma, namunn saat ia ingin berpedapat untuk masuk sma pilihannya ia ditolak dengan alasan pilihanya itu tidak baik untuknya. Ia dipaksa untuk masuk sma pilihan orang tua nya, awalnya ia menolak karena sekolah itu cukup jauh dari tempat tinggalnya.

 

Mansion najendra

“shaka sini” panggil anindya ibu dari arshaka.

Shaka yang merasa terpanggil ia bergegas menuju arah suara itu berasal

“iya ada apa ma” jawab shaka.

“duduk dulu” ucap arsendra papa arshaka.

Duduk.

“ kenapa ma pa kok kayak serius banget gitu” tanya nya.

 “kamu sudah ketemu mau sma dimana?” lanjut nindya.

Sontak shaka membeo mendengar ucapan dari mamanya tersebut

“ha mama seruis nanya itu?” gumam nya.

“ma pa, emang kalo misalnya aku bilang mau sma dimana, kalian setuju?” tanya nya.

Setelah beberapa menit ia berucap seperti itu tak ada satu pun yang bersuara.

“ma pa aku lagi nanya loh kok diam aja sih” ucapnya memecah keheningan.

“tinggal jawab aja mau dimana, untuk urusan setuju atau gak nya papa sama mama diskusi dulu tapi inget ya papa gk mau sekolah yang kamu pilih itu penuh dengan anak brandalan, nanti kamu bisa tertular gk waras”ucap endra penuh penekanan.

“alah bulshit banget” gumam shaka.

“rencananya sih aku mau di estungkara high school ma pa” jawab nya.

“oh sekolah sebrang” ucap nindya.

“ iya ma” ucapnya.

“ papa gk setuju,kamu lupa kasus yang terjadi bulan lalu, papa gk mau kamu jadi seperti itu, papa tegaskan sekali lagi kamu itu satu satunya penerus najendra group” tegasnya.

“nah kan gue kata juga apa, jadi dari tadi Cuma basa basi doang gitu”batin shaka berucap.

“ papa sudah tentukan kamu sekolah dimana, kamu papa masuk kan ke annoria high school” sambung papanya.

“APAAA” penuturan papa nya itu sontak membuat kaget pasalnya sekolahnya ini terlalu jauh dari rumahnya.

“papa serius?”kaget shaka.

“emang papa keliatan bercanda gitu?”tanya endra.

“papa yang bener aja dong itu jauh pa”tawar shaka.

“lah emang kenapa kalo jauh, toh itu sekolah fav di kota ini, lulusanya juga gk main main, contohnya papa” pedenya.

“mulai lagi pedenya”kesal shaka.

“tapi jauh pa” tolak shaka.

“papa gk nerima penolakan, ini tuh yang terbaik buat kamu,TITIK” ucap endra penuh penekanan di kata terakhir.

“tapi pa”ujar shaka.

“ARSHAKA NURUT AJA BISA” tegas nindya yang dari tadi hanya menyimak.

Shaka yang mendengar penturan dari nindya pun sontak terkejut, bukan karena ia di bentak melainkan ibunya ini sosok yang cuek dan gak pernah mau tau soal anaknya namun kini?.

Kemudian ia berlari meninggalkan kedua orang yang masih memasang wajah marah tersebut.

 

Di kamar shaka.

 

Kini ia sedang duduk di ranjang dengan kig bed nya dan kini berada di sebuah ruangan dengan nuansa abu abu

“kapan sih gue bisa nentuin pilihan gue sendiri, terlepas dari kejadian bulan lalu, mereka sadar gk sih gak semua orang seperti itu, toh kalau pun mereka bandingkan dengan peringkat di kota ini juga masih tinggian sekolah sebrang (estungkara high school menduduki peringkat ke dua dan annoria high school menduduki peringkat  ke empat di kota ini), memang annoria  high school pandai menutupi masalah padahal kan (sebenarnya shaka sudah mengetahui bagaimana keadaan asli sekolah pilihan orang tuanya itu, bukan hoax namun ini kenyataan nya jika  dibandingkan dengan masalah yang terjadi bulan lalu di estungkara  high school justru annoria high school lebih parah bahkan memakan korban jiwa) andai mereka tau yang sebenarnya terjadi pasti mereka gak akan milih di situ, huhh mau bagaimana lagi, gue gk boleh membanatah keputusan mereka ntar gue jadi malin kundang lagi, sayang dong wajah gantengku, hahaha” monolong shaka.

Karena bosan shaka membuka aplikasi music bewarna hijau di alat komonikasi genggam nya.

 

Bohongi hati – mahalini

Aku tersiksa

Melihat semuanya berubah

Mengapa

Kau tak mau tau

Bagaimana hati ini tanpamu

Cintamu

 

Oh dimana aku bisa temui dirimu

Yang dulu cinta

Dan anggap aku ada

 

Jika kau meminta aku menjauh

Hilang dari seluruh memori indahmu

Kan kulakukan semua walau tak mungkin sanggup

Bohongi hatiku

Ha ah ah ah

 

Ha ah ha wo ho oh

dimana aku bisa temui dirimu haa

Yang dulu cinta

Dan anggap aku ada

 

Ohh jika kau minta ak…..

BRAAKK

“SHAKAAA kenapa kamu nyanyi nyanyi gk jelas gitu hah, harusnya kamu tuh belajar papa sudah biayain sekolah kamu mahal mahal malah jadi kayak gini, MATIKAN MUSIKNYA SE- KA- RA- NG” ucap endra dengan nada tinggi.

“pa sekarang tuh hari libur, otakku juga butuh libur, gk melulu belajar belajar terus, pa ingat aku manusia pa, aku juga butuh istirahat, ok selama ini aku nurut apa yang papa mau, aku bahkan selalu nolak saat temen temen ngajak aku keluar, itu demi siapa? Demi mama sama papa, terus apa salahnya sekarang aku nyari hiburan ku sendiri, apa salah pa, ha?” ucap shaka dan tanpa sadar pipinya pun sudah basah oleh air mata yang selama ini ia tahan.

Mendengar penuturan dari anaknya pun endra ikut merasakan sesak di dadanya, hingga pada akhirnya ia pun ikut meneteskan air matanya.

“apa gue sekeras itu sama shaka” batin endra.

Namun bukannya meminta maaf ia justru meninggalkan endra sendiri.

“lah kok di tinggal” binggung shaka.

 

Disisi lain…….

 

“gimana pa?”tanya nindya.

“hmm ma kita keterlaluan ya?” tanya endra kepada istrinya, dan nindya hanya membals dengan ekspresi kebingungan.

“ma tadi……

Flashback on….

BRAAKK

“SHAKAAA kenapa kamu nyanyi nyanyi gk jelas gitu hah, harusnya kamu tuh belajar papa sudah biayain sekolah kamu mahal mahal malah jadi kayak gini, MATIKAN MUSIKNYA SE- KA- RA- NG” ucap endra dengan nada tinggi.

“pa sekarang tuh hari libur, otakku juga butuh libur, gk melulu belajar belajar terus, pa ingat aku manusia pa, aku juga butuh istirahat, ok selama ini aku nurut apa yang papa mau, aku bahkan selalu nolak saat temen temen ngajak aku keluar, itu demi siapa? Demi mama sama papa, terus apa salahnya sekarang aku nyari hiburan ku sendiri, apa salah pa, ha?” ucap shaka. dan tanpa sadar pipinya pun sudah basah oleh air mata yang selama ini ia tahan.

Mendengar penuturan dari anaknya pun endra ikut merasakan sesak di dadanya, hingga pada akhirnya ia pun ikut meneteskan air matanya.

 

“ma kita minta maaf yuk, kita mulai dari awal” ujar endra.

“iyaaa pa, ayoo” ajak nindya.

Lalu mereka berdua pun pergi ke kamar shaka.

 

Tokk tok

“shaka buka pintunya dulu”pinta nindya

“shaka buka nak”pinta endra

“mending papa sama mama pergi deh shaka mau sendiri, shaka gk mau di ganggu”tegas shaka

“shaka buka yaa sayang, mama mohon” pinta nindya

Seolah terhipnotis, shaka pun membuka pintu kamarnya, setelah pintu terbuka….

Grepp

Shaka terkejut karena mama dan papa nya langsung memeluknya ia pun membalas pelukan tersebut.

Read more...

THE APPROACHING OF PROKLAMASI

THE APPROACHING OF PROKLAMASI

 

8 September 1944 ~

“ Bendera merah putih dikibarkan untuk pertama kali nya sejak kedudukan jepang “

Lalu di kemudian hari, berada di tempat Rumah Dinas Laksamana Maeda beliau adalah PEJABAT PENGHUBUNG ANGKATAN LAUT-DARAT DAI NIPPON

 

Disana lah Laksamana Maeda Bersama Ir. Soekarno dan Muhammad Hatta berdiskusi tentang bentuk negara. Waktu itu Laksamana Maeda menyarankan bentuk negara Indonesia adalah Kerajaan/Monarki. Dan menunjuk Ir. Soekarno sebagai raja dan Muhammad Hatta sebagai perdana Menteri. Ir. Soekarno tidak menyetujui pendapat Laksamana Maeda karena itu mengingkari semangat Nasionalisme.

 

Lalu pada 1 Juni 1945 di Gedung Volksraad, dimana tempat itu sidang BPUPKI merumuskan Dasar negara.

Saat itu ramai orang orang tidak menyetujui dengan rumusan dasar negara dari orang lain. Ramai orang ribut ribut, segala kesiapannya beliau memberanikan diri. Ir. Soekarno maju ke depan mimbar dan berpidato untuk menjelaskan Dasar negara. Dimulai dengan 5 asas, saat itu dasar negara masih tidak berurutan.

“ Butir pertama yakni perikemanusiaan, lalu butir kedua persatuan, lalu butir ketiga kerakyatan yang dipimpin oleh kemusyawaratan, lalu butir keempat keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, butir kelima yaitu hasil kesimpulan ke empat pilar tadi, yaitu bertakwa kepada tuhan yang maha Esa, agar kitab isa saling menghormati satu sama lain” Seru Ir. Soekarno dalam pidato nya.

 Semua orang bertepuk tangan kepada Ir. Soekarno, bahwa pertanyaan dari Dr. Radjiman sudah terjawabkan. Tentang apa dasar negara Indonesia, yaitu PANCASILA.

14 Agustus 1945

 Jepang mengumumkan penyerahan diri tanpa syarat kepada Sekutu. Pengumuman ini disampaikan langsung oleh Kaisar Hirohito melalui siaran radio nasional. Ini menandai akhir Perang Dunia II di Asia dan semakin mendekatkan Indonesia pada kemerdekaan.

 

Kemudian, pada Tanggal 16 agustus 1945

Para pemuda yang merasa tidak puas dengan jawaban Hatta kembali ke markas dan menyiapkan rencana baru, menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Pukul 04.00 dinihari setelah sahur, tanggal 16 Agustus 1945, para pemuda dipimpin Sodancho

Raibnya Soekarno dan Hatta membuat Jakarta panik. Apalagi, pada hari tersebut ada rapat pertama PPKI. Soebardjo yang pada malam sebelumnya turut hadir dalam perdebatan antara Golongan Muda dan Golongan Tua berupaya mencari Soekarno. Ia berkeliling ke beberapa lokasi termasuk markas Jepang namun tidak ada. Dia curiga para pemuda dibalik raibnya Soekarno dan Hatta. Segera ia menghubungi Wikana. Dari Wikana, Soebardjo mendapat info bahwa Soekarno dan Hatta disekap di Rangasdengklok. Pagi itu juga, Soebardjo menuju ke Rengasdengklok.

 

Lalu pada , malam 16 Agustus 1945,

Dalam rapat, Marsekal Terauchi panglima tentara jepang yang bertanggung jawab atas wilayah asia tenggara. Berkata bahwa kemerdekaan Indonesia jatuh pada tanggal 24 Agustus. Tiba tiba Soekarno mencelah tentang pernyataan itu. “ Saya sudah menjalankan semua yang kalian minta.” Ucap Ir. Soekarno dengan nada marah.

 

“ Baik, jika itu yang kalian mau..maka jangan halangi kami dalam memproklamasikan Indonesia.” Dilanjutkan oleh Bung Hatta. Ternyata Jepang telah menyerahkan kedaulatan nya kepada sekutu. Tiba tiba Bung Hatta memukul meja dengan sangat keras di dalam rapat itu,

“ Itulah janji seorang samurai?” tanya Bung Hatta

“ Jika benar, Indonesia akan menunjukan jepang sebagai samurai seja-“

Belum melanjutkan kalimat salah seorang prajurit jepang hampir menyerang Bung Hatta dengan katana nya, untung nya diberhentikan oleh Laksamana Tadashi Maeda.

“ Jangan mempermalukan negara kita, kita telah kalah.” Ucap Laksamana Tadashi Maeda dengan menghela nafas nya. prajurit itu langsung menurunkan Katana nya.

 

Malam hari setelah rapat, Ir. Soekarno dan Muhammad Hatta di berangkat kan menuju rumah Laksamana Tadashi Maeda. Mereka terkejut dan Laksamana Tadashi Maeda berkata dia akan menunjukan sebagai janji seorang samurai.

Saat ingin memasuki rumah nya. Ternyata seluruh anggota PPKI sudah berkumpul.

 

Laksamana Tadashi Maeda mengarah kan Ir. Soekarno, Muhammad Hatta dan Achmad Soebarjo ditempatkan ruangan yang lebih kecil dari ruangan para pemuda yang di tempatkan. Mereka bertiga akan menuliskan naskah Proklamasi.

 

Disini lah Ir. Soekarno, Muhammad Hatta merumuskan naskah Proklamasi….

Masing masing dari ketiga tokoh itu memunculkan pendapat mereka untuk naskah proklamasi dengan sebaik sebaik nya.

Pemuda pemuda yang di depan ruangan kecil itu tengah menunggu mereka, sehingga mereka sampap tertidur. Di sisi lain Fatmawati ( Istri Soekarno ) tengah menjahit bendera Kebangsaan kita. Bendera Merah Putih….

 

Apakah kalian tau sejarah bendera Merah Putih Indonesia?

Warna merah dan putih pada bendera sebenarnya telah digunakan sejak zaman kerajaan. Kerajaan pertama ialah Majapahit yang berpusat di jawa timur yang menjadikan bendera merah putih sebagai lambing kebesarannya pada abad ke-13. Warna merah keberanian dan putih melambang kesucian.

 

Kita Kembali menuju cerita….

Setelah membuat naskah proklamasi, Ir. Soekarno membacakan naskah tersebut di depan para pemuda pemuda, kemudian diserahkan tulisan tangan naskah tersebut ke pengetik naskah Proklamasi. Sayuti Melik yang mengetik teks naskah proklamasi, beliau sampai berkali kali mengetik sampai banyak kertas yang berhamburan di lantai.

 Tak lama setelah itu, setelah naskah teks Proklamasi selesai. Lalu diserahkan Kembali ke Ir. Soekarno dan Muhammad Hatta…

Dan ditandatangani oleh Ir. Soekarno dan Muhammad Hatta, dibawah tulisan “ Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05 Atas nama bangsa Indonesia Soekarno, Hatta “

 

Di pagi hari nya, Jusuf Ronodipuro merupakan salah satu tokoh yang berperan dalam menyiarkan berita proklamasi kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia. Beliau juga bekerja sebagai wartawan di stasiun radio Hosokyoku di Jakarta.

 

Pada detik detik proklamasi dibacakan, semua warga masyarakat berkumpul di rumah Ir. Soekarno yang berlokasi di Jalan pegangsaan Timur No. 56, Jakarta Timur. Sayangnya detik detik menjelang Proklamasi, Ir. Soekarno terlihat sedang tidak enak badan.

Para pemuda dan warga masyarakat sudah menunggu di depan rumah kediaman Ir. Soekarno….

Kemudian datanglah Muhammad Hatta dengan kendaraan mobil nya di kerumunan warga.

 

Dengan segala dukungan dari sahabat beliau Muhammad Hatta, Ir. Soekarno menyatakan siap dengan segala jiwa raganya.

 

Detik detik menuju proklamasi dibacakan, beliau keluar dari kediaman nya dengan segala kesiapan untuk membaca naskah proklamasi….

Beliau juga didampingi oleh Muhammad Hatta.

Tepat pada pukul 10.00 pagi, Naskah teks proklamasi dibacakan…

PROKLAMASI

KAMI BANGSA INDONESIA DENGAN INI MENYATAKAN KEMERDEKAAN INDONESIA. HAL HAL JANG MENGENAI PEMINDAHAN KEKOEASAAN D.L.L. DISELENGGARAKAN DENGAN TJARA SAKSAMA DALAM TEMPO JANG SESINGKAT SINGKATNJA.

DJAKARTA, HARI 17 BOELAN 08 TAHOEN 05

ATAS NAMA BANGSA INDONESIA, SOEKARNO HATTA.

Suara asli Ir. Soekarno direkam oleh salah satu radio Republik Indonesia.

Pada waktu itu Bendera Indonesia juga dikibarkan untuk pertama kalinya.

Seluruh rakyat berbahagia, mereka mengibar ngibarkan bendera Indonesia dengan rasa terbebas dari apapun.

Dari sini kita banyak belajar dari setiap peristiwa yang terjadi, berusaha mementingkan kemenangan sendiri adalah kekalahan sejati. Kemerdekaan tidak bisa diraih dengan dengan cara seperti itu. Kita akan catat di dalam hati kita, untuk masa depan rakyat kedepan nya.

 

Alivia zikranaya

Siswa SMP

 

Read more...

Surat Sang Prajurit

5 Juli, 1938.

 

“Ikut...berperang?”

“Iya, aku berencana untuk ikut berperang membela tanah air kita. Bagaimana menurutmu?” Dari dalam sebuah ruangan terdengar suara dua orang yang sedang berbicara. Yang jika didengar lebih teliti lagi, maka yang berbicara adalah seorang wanita dan pria. “...Kamu..kamu yakin?” Suara halus tadi kembali berbicara. “Aku yakin. Sangat yakin.” Mendengar jawaban semangat itu, sang puan hanya bisa menghela nafasnya dan tersenyum kearah sang wira. “Yasudah jikalau kemauanmu begitu. Aku tak akan melarangmu, Sagara.” Nama lelaki yang sedang berbicara dengannya sekarang—Sagara. Putra Sagara.

 

“Tapi kamu janji akan...kembali ke dekapanku, kan?” Sagara tersenyum lalu memeluk erat sang wanita tercintanya. “Tentu saja. Aku pasti akan kembali dengan bangga padamu. Cahya-ku.” Cahya—atau dengan nama asli Drisana Cahyaningrum—memeluk Sagara kembali. “Baiklah kalau begitu. Aku akan menunggumu disini.” Cahya tersenyum kecil. Sedangkan Sagara menganggukkan kepalanya pelan.

 

“Jadi...kapan kamu akan berangkat? Dan kira-kira kapan kamu akan kembali?” Cahya kembali bertanya. Sagara tampak ragu untuk menjawab, tapi kemudian ia menjelaskan, “Rencananya, aku akan berangkat dua minggu lagi. Tentang kira-kira kapan aku akan pulang....” Sagara menggelengkan kepalanya pelan. “Aku tak tau dengan pasti. Maafkan aku.”  

 

Mendengar penuturan itu, senyum di wajah Cahya semakin menghilang. Ia pasti akan menangis jika saja Sagara tidak segera memeluknya dan berkata, “Kau tidak perlu khawatir, karena aku adalah orang terkuat di desa, bukan?” Ia berucap dengan suara lantang dan jenaka, kebiasannya sejak dulu jika ia sedang gugup. Tangan Cahya mencengkram punggung dari orang terkasihnya itu, berharap bisa menahan Sagara untuk berada tetap di pelukannya. Namun keputusan suaminya sudah bulat, ia akan pergi dua minggu lagi, dan pulang entah kapan. Mungkin juga ia tidak akan kembali.

 

Pikiran untuk melanjutkan hidup tanpa Sagara disisinya semakin mengganggu Cahya. Air matanya tidak dapat ditahan lagi, dan isak demi isakan keluar dari antara dua jiwa itu. Menahan mereka untuk menahan satu sama lain lebih lama lagi.

 

Sagara mengusap ujung kepala Cahya dengan lembut. “Jangan khawatirkan aku. Aku pasti kembali untukmu.” Tangis Cahya mereda secara perlahan. Cahya menganggukkan kepalanya. Melihat itu Sagara tersenyum dan melepaskan dekapannya pada tubuh Cahya. “Bagaimana jika ku kirimkan surat untukmu tiap hari? Agar kamu tau bagaimana kabarku di medan perang nanti.”

 

“Tentu. Aku akan dengan senang hati menerima semua suratmu.” Cahya terkekeh sembari menghapus air matanya yang sempat mengalir dengan deras tadi. “Kalau begitu, ayo mulai kemas-kemas barang yang akan kamu bawa nanti.” Cahya tersenyum kepada Sagara.

 

 

19 Juli,1938.

 

2 minggu telah berlalu dengan cepat bagi Sagara dan Cahya. Tidak terasa, tapi hari itu adalah hari di mana Sagara akan pergi meninggalkan Cahya untuk pergi berperang. Pasangan suami-istri itu sedang berjalan berdampingan menuju pintu depan rumah mereka. Tidak ada yang bersuara, hingga mereka sampai tepat di depan pintu masuk utama.

 

“Jadi..aku berangkat ya?” Sagara bertanya dengan kekehan kecil sembari memutar balikkan tubuhnya untuk melihat sang terkasih lebih jelas. Cahya hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum simpul. Hatinya terasa sangat berat untuk melepaskan Sagara pergi. Ia takut jika Sagara tidak akan kembali ke sisinya setelah perang usai. Tapi apa daya, Keputusan suaminya sudah bulat. Dan Cahya tak akan pernah bisa melarangnya untuk ikut terjun ke medan perang.

 

Tak mendengar jawaban apa pun dari Cahya, Sagara mengulum senyum kecil di bibirnya lalu memeluk sang puan secara tiba-tiba. Perlakuan Sagara tadi membuat Cahya terkejut meskipun hanya sedikit. “Sampai jumpa, istriku Drisana Cahyaningrum. Do’a kan agar aku selamat ya.” Sagara membisikkan kalimat tadi tepat di depan telinga Cahya. Membuat Cahya tak bisa membendung air mata yang sejak tadi ia tahan. Isak demi isakan kecil mulai terdengar dari kedua insan yang sedang berpelukan itu. Sagara terkekeh. Ia mengusap punggung Cahya perlahan, mencoba menenangkan sang wanita yang sekarang tengah menangis dipelukannya.

 

“Kamu pasti kembali kan?” Ditengah-tengah suara isakan tadi, Cahya bertanya kepada Sagara. Meskipun Ia tau ia sudah menanyakan hal ini berulang-ulang kali, tapi ia yakin Sagara tak akan pernah bosan untuk menjawab pertanyaannya yang satu ini. Dan jawaban yang Sagara lontarkan selalu sama, “Tentu saja. Tunggu aku pulang ya?” Dekapan Sagara makin mengencang. Ia sebenarnya juga tak tega meninggalkan istrinya sendirian dirumah. Tapi ia tetap harus pergi.

 

Lima menit telah mereka habiskan untuk berpelukan, merasakan kehangatan satu sama lain untuk yang terakhir kalinya sebelum Sagara pergi. Dengan sangat perlahan Sagara melepaskan pelukannya dari tubuh Cahya. Karena ia tau bahwa ia harus segara berangkat. Meskipun ia sendiri masih merasa tak puas berpelukan dengan wanitanya.

 

Cahya tersenyum dan berkata, “Kamu pasti bisa. Aku yakin kamu pasti bisa kembali dengan selamat. Dan,” Cahya mengangkat tangan kanannya dan menangkup pipi Sagara. “Jangan lupa untuk mengirimkanku surat. Tolong jaga kesehatanmu ya.” Sagara kerkekeh. Ia melepaskan telapak tangan Cahya yang terletak di pipinya lalu mundur selangkah. Ia berlutut layaknya seorang prajurit kepada Cahya sambil berujar, “Baiklah, yang mulia ratu. Akan hamba usahakan. Dan sang prajurit ini berjanji untuk pulang dengan selamat ke sisi anda, Ratuku.” Sagara mengucapkan kalimat tadi dengan nada yang tegas. Layaknya seorang prajurit jika sedang berhadapan dengan atasannya. Cahya tertawa pelan, merasa sedikit terhibur dengan ucapan Sagara. “Jaga dirimu baik-baik. Jangan lupa untuk makan dan istirahat dengan teratur, jaga kesehatanmu juga. Kamu mengerti istriku?” Diakhir kalimat yang ia lontarkan, Sagara menggunakan nada jenaka. Mencoba agar perpisahan ini tak hanya diisi dengan kesedihan dan tangis.

 

Cahya tersenyum lalu mengangguk. “Tentu saja.” Mendengar itu Sagara ikut tersenyum kearah Cahya. Ia mulai berjalan melewati pekarangan rumahnya. Namun, selang beberapa langkah dari pintu depan rumah mereka, Sagara membalikkan badannya kembali. Hal itu tentu saja membuat Cahya bingung. “..Ada barang yang tertinggal kah?” Cahya memiringkan kepalanya kesamping. Melihat reaksi itu, Sagara hanya terkekeh dan menggelengkan kepalanya. “Ada sebuah kalimat yang belum kuucapkan. Dan hal itu adalah,”

 

“Sampai jumpa, Cahyaku.” Dengan begitu Sagara langsung membalikkan badannya dan mulai berjalan kembali. Jauh dan semakin menjauh. Hingga bayangannya tak tertangkap oleh mata Cahya sama sekali.

 

30 November 1938.

 

Sudah hampir lima bulan Sagara pergi berperang. Meninggalkan Cahya sendirian dirumah mereka. Hari-hari selalu Cahya lewati dalam sunyi dan sepi. Biasanya selalu ada Sagara yang membantunya atau hanya sekedar bertukar kata dengannya. Namun, semua itu hanya bisa ia kenang sekarang. Cahya tau bahwa ini pasti terjadi. Sendirian dirumah, tanpa ada yang mengajaknya berbicara ataupun membantunya membersihkan rumah.

 

Cahya menghela nafasnya. Ia meletakkan sapu yang ia pegang ke dinding lalu duduk di tempat tidur miliknya dan Sagara. Ia melihat ke sekeliling kamarnya. Hanya ada dirinya disini, tak ada orang lain. Sunyi adalah hal yang selalu menemaninya sejak Sagara pergi. Kembali ia lihat cerminan wajahnya di cermin besar yang terletak di meja. “Wajahku tidak berubah sama sekali...hanya saja—” Cahya menangkup kedua pipinya sendiri. Memperhatikan bentuk wajahnya dengan lebih detail. “Kantung mataku semakin menebal ya.” Cahya menghela nafasnya lagi. Memang akhir-akhir ini ia sering sekali kesulitan untuk tidur. Kelopak mata miliknya seperti melarang Cahya untuk tertidur lebih awal. Bukan akhir-akhir ini sebenarnya, namun sejak dua bulan yang lalu. Cahya juga tidak tau kenapa, tapi sebelum tidur ia selalu merasa cemas akan sesuatu. Terkadang Cahya berpikir bahwa rasa cemasnya ini ada kaitannya dengan Sagara. Ia berpikir bahwa rasa cemas ini terjadi karena pikirannya tentang Sagara yang tak akan kembali, atau lebih buruk lagi—Sagara telah meninggal. 

 

Cahya menepis semua pikiran negatif tentang kemungkinan yang terjadi pada Sagara dan memutuskan untuk merebahkan tubuhnya di tempat tidur yang sekarang ia duduki. Cahya melihat kearah langit-langit kamarnya. Tanpa ia sadari perlahan-lahan kelopak matanya mulai tertutup. Sampai akhirnya terdengar suara dengkuran halus dari kamar yang ia tempati sekarang.

 

14 Juli 1940.

 

Hari ini berjalan seperti biasanya bagi Cahya. Tak ada yang special meskipun tepat dua hari lagi adalah ulang tahunnya yang ke 22. Ia sedang melakukan rutinitas paginya sekaranng. Seperti membuka jendela depan agar udara di dalam rumahnya tidak terlalu panas, dan menyapu halaman sekaligus menyiram bunga yang ada dipekarangannya.

 

Setelah selesai dengan rutinitas paginya, Cahya segera masuk kembali ke dalam rumahnya. Lagipula, tak ada yang bisa ia lakukan lagi diluar. Saat didalam, Cahya segera mengecek jam yang terletak dimeja tempat pajangan-pajangan fotonya. Jam 10.00 alias tepat jam sepuluh pagi. “Aku masih ada waktu untuk beristirahat sejenak sepertinya. Pekerjaanku juga sudah selesai...” Tanpa pikir panjang, Cahya segera berjalan kearah kamarnya, berencana untuk mengambil sedikit waktunya untuk tidur sejenak.

 

Tok tok tok..

 

Baru saja Cahya sampai di kamarnya, ia tiba-tiba mendengar suara ketukan pintu. Dengan segera Cahya berjalan cepat—sedikit berlari mungkin—ke bagian ruang tamu. Jantungnya berdegup dengan kencang. Sebenarnya Cahya sendiri juga bingung kenapa jantungnya berdegup tak karuan setelah mendengar suara ketukan pintu tadi. Apa mungkin karena Cahya berpikir bahwa  yang mengetuk pintunya tadi adalah Sagara? Mungkin saja. Saat sampai di depan pintu, Cahya segera membuka pintunya dan hampir saja mengucapkan nama Sagara jika saja orang yang mengetuk pintunya itu tidak langsung menyapanya.

 

“Selamat siang, nona. Apa benar ini dengan nona Drisana Cahyaningrum?” Cahya terdiam ditempat. Ada sedikit perasaan kecewa dalam diri Cahya dikarenakan ternyata yang mengetuk pintunya tadi bukanlah Sagara. Melainkan seorang pria berumur sekitar tiga puluh lima sampai empat puluh-an yang sedang membawa sebuah surat ditangannya. “Nona? Nona, apa anda mendengar saya? Apa perlu saya ulangi?” Lamunan Cahya seketika buyar, ia bahkan tidak menyadari bahwa ia telah terdiam dan melamun semenjak orang itu berbicara padanya.

 

“Ah..maafkan saya. Sejenak saya kira yang mengetuk pintu rumah saya tadi adalah suami saya.” Cahya menundukkan kepalanya malu. Tapi memang apa yang telah ia ucapkan adalah kenyataan. “Jika anda berkenan, mungkin anda bisa mengulangi perkataan anda barusan.” Pria itu tersenyum. “Tentu saja nona. Saya tadi hanya bertanya, apa benar nama anda adalah Drisana Cahyaningrum?” Sang pria menguangi kalimatnya yang tadi tak didengar oleh Cahya. Mendengar itu, Cahya segera menganggukkan kepalanya. “Kalau begitu.. surat ini untuk anda. Nona Drisana.” Pria itu menjulurkan surat yang sedari tadi ia pegang. Surat dengan warna coklat dan sedikit lusuh. Tanpa ragu, Cahya segera mengambil suratnya dan seketika terkejut saat membaca nama sang pengirim surat itu.

 

“Tugas saya disini telah selesai. Kalau begitu, saya akan pergi sekarang. Sampai jumpa nona.” Dan dengan begitu pria tadi pergi. Dan Cahya langsung masuk kedalam rumahnya. Tak sabar untuk membaca surat pertama yang dikirimkan oleh Sagara.

 

Hatinya sangat  menggebu-gebu untuk membaca surat yang yang dikirimkan oleh suaminya ini. Sudah dua tahun sejak Sagara pergi. Dan baru kali ini Cahya menerima surat darinya. Tentu saja hal itu membuat Cahya sangat tak sabaran untuk mengetahui bagaimana keadaan Sagara sekarang. Tanpa basa-basi lagi, Cahya segera membuka surat itu dan membacanya dengan sangat perlahan.

 

Untuk sang laksmiku di rumah.

 

Jika adinda menerima surat ini, maka aku telah tiada. Aku tau kamu sudah mencoba untuk menghalangiku agar tidak ikut di medan perang ini. Tetapi, jika bukan aku lantas siapa? Siapa yang akan membela negara kita?

Maaf, aku sepertinya tak bisa menepati janjiku padamu Cahyaku. Aku ingin, tapi takdir berkata sebaliknya.

Aku sudah mengirimkan beribu-ribu surat kepadamu, tapi tampaknya adinda satu ini tidak pernah membalasnya ya? semoga saja semua surat-surat itu sampai dengan selamat ke tanganmu.

 

Namun, aku harap surat yang satu ini tak akan pernah terkirim kerumah kita. Melainkan aku yang akan sampai dengan selamat lalu mendekapmu dengan sangat erat. Tapi apa daya? Jikalau engkau sudah membaca semua ini. Berarti aku sudah tidak ada.

 

Cukup sampai disini saja isi suratnya, Cahyaku. Aku harap kita bisa bertemu kembali suatu saat nanti. Tot we elkaar weer ontmoeten, mijn licht. Sampai jumpa lagi, sayangku

 

—Dari prajurit yang senantiasa mencintaimu. P. Sagara 

 

Senyum di wajah Cahya memudar setelah membaca seluruh isi surat tadi. Tanpa ia sadari, air mata meluncur begitu saja di pipinya. Tapi Cahya sama sekali tak memiliki niat untuk memberhentikan tangisannya sekarang. Seketika kepalanya terasa seperti terombang-ambing. Kepalanya pusing, dan ia langsung jatuh terduduk begitu saja dengan memegang erat surat dari Sagara yang baru saja ia baca.

 

“Yang benar saja...tidak tidak tidak. Ia pasti kembali. Sagara sudah berjanji padaku bahwa ia akan kembali dengan bangga. Apa ini..” Kembali ia baca surat itu dengan lebih teliti lagi. Namun, isinya tetap sama. Tak ada yang berubah. Hatinya terasa seperti ditusuk beribu-ribu pisau. Rasa cemasnya sekarang benar-benar terjadi. Cahya mencoba untuk berdiri, tapi gagal. Ia mencoba berdiri sekali lagi, tapi kali ini dengan bersandar pada tembok sebagai tumpuannya. Namun hasilnya tetap gagal. Ia kembali terduduk lemas di lantai. Kepalanya terasa amat sangat berat. Sampai akhirnya, Cahya memutuskan untuk menyerah dan beristirahat disana saja.

 

***

 

Kini hari-hari Cahya terasa semakin sepi. Harapan untuk bertemu dengan Sagara kembali dan melanjutkan hidup dengannya sudah pupus sejak ia mendapatkan surat dari sang wira tiga bulan lalu. Sering sekali Cahya tampak diam termenung menatap surat dan foto-foto lama Sagara yang ia punya. Cahya tau ia harus mulai merelakan kepergianya, tapi hatinya tak bisa. Tak jarang juga Cahya menangis secara tiba-tiba sebelum ia tidur. Kehilangan Sagara sangat berdampak padanya. Tapi ia juga harus menepati janjinya pada Sagara untuk tetap menjaga kesehatannya.

 

Sore ini, kembali ia baca surat pemberian Sagara. Sudah puluhan kali—atau mungkin ratusan—Cahya membaca suratnya, sampai-sampai ia hafal mati dengan isi dari surat itu. Bahkan, terkadang Cahya tampak berbicara kepada angin kosong. Padahal hal yang sedang ia lakukan adalah membalas surat dari suaminya itu secara lisan.

 

Namun, seketika dahi Cahya berkerut dikala ia menyadari sesuatu ketika membaca beberapa kalimat yang tertera didalam sang surat. ‘Aku sudah mengirimkan beribu-ribu surat kepadamu, tapi tampaknya adinda satu ini tidak pernah membalasnya ya? semoga saja semua surat-surat itu sampai dengan selamat ke tanganmu.’  Cahya kembali membaca ulang kalimat tadi, sekarang dengan lebih perlahan. Terutama dibagian, ‘Aku sudah mengirimkan beribu-ribu surat kepadamu.’

 

“Apa maksudmu dengan telah mengirimkan beribu-ribu surat padaku..Sagara?” Kerutan di dahi Cahya makin terlihat dengan jelas. Ia bingung luar biasa sekarang. Pasalnya, seingat Cahya ia tak pernah menerima satu pun surat dari Sagara—kecuali surat yang ia dapatkan tiga bulan yang lalu.

 

22 Juni 1946. 

 

Sudah enam tahun sejak Cahya mendapatkan satu surat terakhir hari Sagara. Ia sudah mulai menjalani kehidupannya seperti biasa. Bahkan, tampaknya Cahya sudah merelakan kepergian Sagara. Seperti sore ini, Cahya sudah menyelesaikan semua pekerjaan rumahnya yang sempat tertunda. Ia sekarang tengah duduk dihalaman depan rumahnya sembari menyesap secangkir teh hangat. Semilir angin yang cukup sejuk berhasil menerbangkan beberapa helaian rambutnya yang panjang itu.

 

Sekarangpun Cahya sibuk menikmati keindahan taman yang ada didepannya saat ini, sampai-sampai ia tak mendengar suara langkah kaki yang mulai mendekat kearahnya.

 

“Permisi, nona Drisana.” Mendengar namanya dipanggil, Cahya segera menoleh kearah sampingnya. Sejenak Cahya memperhatikan wajah dari pria yang tadi memanggil namanya. Wajahnya tampak familier bagi Cahya. Ia tampak berpikir sejenak, Cahya sangat yakin jika ia pernah melihat wajah pria ini. Tapi ia lupa dimana tepatnya.

 

Pria paruh baya itu tampak tersenyum kearah Cahya. “Nona pasti merasa familier dengan wajah saya. Apa tebakan saya benar?” Pria itu terkekeh, sedangkan wajah Cahya tampak sedikit terkejut karena tebakan pria itu benar. “Saya adalah orang yang mengirimkan sebuah surat kepada anda sekitar..enam tahun yang lalu.” Dan dengan kalimat itulah Cahya akhirnya mengingat kenapa wajah pria ini tampak familier baginya.

 

“Berarti anda kemari karena ingin memberikan sebuah surat yang dikirimkan untuk saya. Benar?” Cahya bertanya kepada sang pria lalu terkekeh pelan. Sang pria memberikan anggukan sebagai respon atas pertanyaan Cahya. “Benar sekali. Namun, kali ini surat yang ingin saya berikan kepada anda bukan hanya satu saja. Melainkan, puluhan surat.” Wajah Cahya tampak terkejut untuk sepersekian detik saja.

 

“Puluhan surat.. untuk saya?” Tanya Cahya. Ia tak percaya dengan ucapan sang pengirim surat yang sekarang sedang berdiri tepat dihadapannya. “Benar sekali nona. Saya disini bertugas untuk mengantarkan puluhan surat yang tertuju pada Drisana Cahyaningrum. Dan orang itu adalah anda.” Pria itu mengeluarkan tiga map besar bewarna coklat dan menyerahkannya kepada Cahya. “Silahkan nona. Semua surat ini ditujukan kepada anda.”

 

Dengan perlahan-lahan Cahya menerima tiga lembar map besar itu. Dan setelah yakin bahwa map itu selamat sampai di tangan Cahya, sang pria langsung saja pamit undur diri. “Kalau begitu, saya akan pergi sekarang nona.”

 

***

 

Sudah tiga hari sejak Cahya menerima puluhan surat dari seseorang. Tapi sampai sekarang ia masih belum berani untuk membuka surat-surat itu sama sekali. Ada sedikit perasaan takut yang menghantuinya. Tapi sebagian dirinya juga penasaran, siapa nama dibalik pengirim puluhan surat-surat itu.

 

Cahya menghela nafasnya. Ia sudah membulatkan keberaniannya untuk membuka atau sekedar membaca nama dari sang pengirim surat. “Ayo Cahya. Kamu pasti bisa. Apa yang kamu takutkan?”

 

Cahya berjalan kearah meja dimana map berisi surat-surat itu ia letakkan. Sejenak terlintas dipikiran Cahya untuk membukanya besok saja. Tapi ia segera menepis pikiran itu. “Ayu Cahya. Membaca beberapa surat tak akan membunuhmu, Cahya.” Cahya sedang mencoba untuk meyakinkan dirinya lagi. Kembali ia tarik nafas dalam-dalam, sebelum ia hembuskan dengan perlahan. Tangannya mulai meraih map coklat itu. Dan jari-jemarinya bekerja untuk membuka ikatan pada map coklat itu. Dan hal pertama yang ia sadari ketika melihat surat itu adalah nama sang pengirim. Matanya membulat sempurna.

 

“...Putra Sagara..? Surat surat ini dikirim oleh...Sagara?” Dengan tergesa Cahya mulai mengeluarkan tiap surat yang ada didalam map coklat yang sedang ia pegang sekarang. Entah kenapa, ia merasakan secerah harapan setelah membaca nama dari sang pengirim surat itu. Cahya memperhatikan surat-surat itu dengan lebih seksama. Sampai ia melihat sebuah angka yang tertulis di bagian ojok kiri atas paad setiap surat. “Ini pasti tanggal saat Sagara membuat surat ini...”

 

Cahya segera mengurutkan tanggalan yang ada pada surat-surat itu. Dan surat dengan tanggalan paling lama ialah surat dengan kode angka 30/07/1938. Bulan yang sama saat Sagara baru pergi untuk berperang. Tanpa pikir panjang, Cahya membuka surat itu dan membacanya perlahan.

 

30/07/1938.

 

Halo istriku. Bagaimana kabarmu? Maaf aku baru bisa menuliskan surat ini sekarang. Aku benar-benar sibuk dengan masalah disini. Oh, sepertinya sampai disini dulu saja isi suratnya. Sampai jumpa di lain surat, Cahyaku.

 

—P.Sagara

 

Setelah membaca kalimat terakhir dari surat pertama, Cahya membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan dari Sagara di dalam surat tadi. “Kabarku baik, Sagara. Bagaimana denganmu?” Cahya terkekeh mendengar penuturannya sendiri. Cahya melipat surat pertama tadi lalu langsung mengambil surat kedua untuk ia baca selanjutnya.

 

05/08/1938.

 

Cahyaku, hari ini aku hampir saja tertembak peluru. Tapi, tentu saja aku selamat. Sudah kubilang, kamu tidak perlu mengkhawatirkan aku. Aku ini pria terkuat di desa kita. Baik, sampai disini dulu suratnya.

 

—dari suami tercintamu yang hampir tertembak tadi.

 

Cahya bingung ia harus bereaksi seperti apa sekarang. Ia khawatir saat membaca kalimat dimana Sagara hampir tertembak peluru. Namun, ia juga ingin tertawa saat membaca nama pengirim yang Sagara tulis diakhir surat. Cahya melipat surat yang baru saja ia baca lalu mengambil satu surat random dari tumpukan surat-surat miliknya itu.

 

12/01/1939.

 

Tak terasa ya, tapi sudah tujuh bulan kita terpisah. Sepertinya aku mulai meridukanmu..dan aku yakin kamu pasti juga merindukanku. Tenang saja. Aku pasti kembali.

 

Oh iya, hari ini kami berhasil menghancurkan salah satu benteng musuh. Hebat bukan? Tentu saja, lagipula ada aku yang membantu mereka. Haha, aku hanya bercanda.

 

—dari prajurit bernama P.Sagara.

 

Cahya tak bisa menahan rasa bangganya pada Sagara sekarang. “Hebat sekali. Tentu saja semua itu bisa tercapai karena adanya kamu disana.” Cahya tertawa ketika mendengar penuturannya barusan.

 

***

 

Sudah hampir satu jam lebih Cahya duduk sembari membaca dan menanggapi satu persatu surat yang dikirim oleh Sagara. Yang tak Cahya sadari ialah bagaimana raut wajahnya berubah berkali-kali setiap ia membaca satu surat. Terkadang ia akan tertawa, lalu tiba-tiba ia akan cemas dan khawatir. Puluhan surat sudah ia baca. Hingga sampailah ia pada dua surat terakhir. Senyum pada wajah Cahya mulai pudar disaat ia melihat bahwa surat yang belum ia baca hanya tersisa dua. “Hanya tersisa dua surat ya..”  Dengan sangat perlahan Cahya mulai membaca surat dengan nomor kode 05/05/1940.

 

05 Mei 1940.

 

Rencana kami gagal. Banyak diantara kami yang gugur, bahkan tak sedikit juga yang mengalami luka berat. Tempat persembunyian kami juga sudah diketahui oleh mereka. Dan ternyata, ada salah seorang dari kami yang bekerja sama dnegan musuh. Sungguh keterlaluan.

Maaf, sepertinya surat ini tak akan terlalu panjang. Aku harus segera bergerak kembali sampai jumpa.

 

—P.Sagara.

 

Seketika itu juga jantung Cahya berdegup dengan sangat kencang. Rasa cemasnya meningkat. Hanya tersisa satu surat lagi. Dan Cahya tak mungkin tidak membaca surat yang terakhir. Cahya menarik nafasnya terlebih dahulu. Mencoba menetralkan degup  jantungnya yang tak karuan. “Satu surat lagi Cahya. Hanya satu..” Cahya mengangkat surat dengan kode angka 28/06/1940. Dengan perasaan berat ia mulai membuka surat itu dan membacanya.

 

28 Juni 1940.

 

Kami benar-benar gagal. Semuanya telah gugur. Hanya tersisa diriku dan pimpinan kami. Namun, sepertinya keberntungan sama sekali tidak berpihak pada kami. Aku dan pimpinan kami terpisah. Namun aku sudah menitipkan sesuatu untukmu padanya. Sepertinya ini akan menjadi surat terakhirku...Sampai jumpa. Aku mencintaimu, selalu.

 

—Prajurit Bernama P.Sagara.

 

Tanpa Cahya sadari, air mata lolos begitu saja melewati pipinya tepat ketika ia selesai membaca surat terakhir yang ditulis oleh Sagara. Cahya menangis. “Begitu rupanya...aku bangga padamu, Sagara. Sungguh. Aku sangat bangga padamu. Lihatlah sekarang. Negara kita sudah merdeka. Jasamu akan selalu dikenang.” Cahya berusaha sekuat tenaga untuk menunjukan senyum terbaiknya. Ia harus tetap tegar. Sama seperti Sagara yang selalu tegar disetiap situasi. “Aku harap kamu tenang sekarang, Sagara.”

 

***

Read more...

“Maaf, bu…”

Gadis kecil itu hampir menangis, mata coklatnya berkaca-kaca, sekuat tenaga dia tahan bulir air mata yang hendak jatuh, terus menahan diri, bertahan, menarik napas panjang, kemudian perlahan dia hembuskan perlahan, berpacu dengan waktu, harus segera dia sudahi “drama” kesedihan ini.  Kemudian dia mencoba tersenyum dan perlahan bangkit dari kursinya, berdiri dengan gagah, berjalan dengan tegap, maju ke depan kelas, menunduk, mengambil buku tulisnya yang sengaja dilempar oleh guru matematikanya. Dengan hormat dia datangi gurunya, seraya berkata dengan sopan : “maaf bu, besok bukunya saya ganti yang baru”. Sang guru hanya mengangguk dan berkata ; ya , tanpa sedikitpun menoleh pada si gadis kecil yang sekali lagi berusaha sekuat tenaga agar bulir air matanya tidak jatuh menetes di pipi. Dan waktu berjalan begitu saja, hari itu murid-murid kelas V-A sedang sibuk mengerjakan soal matematika dan bahasa indonesia yang tiap hari menjadi menu wajib anak-anak yang sedang mempersiapkan diri mengikuti ujian akhir setahun kemudian.

Intan namanya, gadis kecil dengan bando merah, rambut lurus sedikit bergelombang dengan panjang sebahu, di pergelangan kirinya melingkar jam tangan kulit warna maroon hadiah dari kakeknya. 2 hari yang lalu, guru matematika sekaligus wali kelasnya berkata kepada murid-muridnya agar menyiapkan satu buku tulis baru, khusus untuk buku ulangan. Ya, buku ulangan. Karena rencananya tiap hari akan ada ulangan khusus mata pelajaran matematika dan bahasa Indonesia, agar murid-murid terbiasa dengan soal-soal ujian akhir saat kelas VI nanti, tentu saja diharapkan agar murid-murid mampu meraih nilai terbaik dan berhasil masuk sekolah manapun yang diinginkan. Waktu itu Intan hanya memiliki satu buku kosong yang sebenarnya tidak benar-benar kosong, sudah terpakai 2 lembar bagian depannya. Buku tersebut disampul rapi oleh Intan, sampul coklat kemudian dilapisi sampul plastik, namun 2 lembar buku yang sudah terpakai tidak disobek, melainkan dijadikan satu dengan sampulnya, sehingga jelas terlihat jika buku tersebut bukan buku baru. Hal itulah yang mungkin memicu kemarahan guru matematikanya, karena instruksi beliau jelas : siapkan satu buku tulis baru. Nah, buku tulisnya Intan tidak baru, sudah terpakai 2 lembar. Intan sama sekali tidak membantah, bahkan tidak marah, meskipun bukunya dilempar begitu saja di depan 38 murid yang lain. Intan hanya malu, karena diperlakukan seperti itu oleh gurunya, hanya kesalahan sepele, hanya karena 2 lembar buku yang tak disobek agar seolah-olah tampak baru. Mengapa saat itu intan tidak beli buku tulis yang baru?jelas karena tidak ada biaya, tidak mudah membeli satu buku tulis baru diluar buku tulis yang sudah terbeli pada awal tahun ajaran baru. Sebenarnya bisa saja Intan meminta pada orang tuanya agar membelikan satu buku tulis yang baru, untuk keperluan pendidikan pasti akan diutamakan. Namun Intan tidak berpikir sejauh itu, gadis 10 tahun itu berpikir bahwa yang penting bukunya masih bisa dipakai, hanya terpakai 2 lembar, masih ada 36 lembar yang kosong dan siap digunakan, untuk apa beli buku yang baru. Ternyata apa yang dipikirkan gurunya tidak sama dengan apa yang dipikirkan Intan, dimata gurunya mungkin anak ini tidak mematuhi perintah guru. Intan malu, sungguh benar-benar malu hingga hampir menangis, namun Intan teringat perkataan ayahnya 2 tahun yang lalu: “jangan menangis, karena menangis itu tidak pernah menyelesaikan masalah”.

Pada akhirnya Intan membeli buku tulis yang baru, dia membelinya sendiri, menggunakan uang jajan tambahan yang kadang diberikan oleh kakeknya. Intan tidak bercerita apapun kepada kedua orang tuanya, karena bagi Intan kejadian itu sudah cukup menyesakkan dada, tidak sanggup dia ceritakan pada orang lain, meskipun itu pada kedua orang tuanya. Intan tidak punya kakak dan tidak mungkin pula dia bercerita pada kedua adiknya yang baru berusia 5 dan 2 tahun. Apakah setelah membeli buku tulis yang baru masalah berhenti begitu saja?oh tidak, Intan harus berusaha memerangi perasaannya sendiri, setiap melihat guru tersebut, terbayang lagi kejadian “terbang” nya buku tulis miliknya di depan kelas, setiap pelajaran matematika dia pun teringat ekspresi wajah gurunya saat menerbangkan buku tulisnya, padahal setiap hari dia harus bertemu dengan guru matematika sekaligus wali kelasnya tersebut. Akibatnya pelajaran matematika sempat tersendat lama untuk bisa masuk ke dalam otaknya, meskipun hanya berupa penjumlahan bilangan negatif dengan bilangan positif begitu sulit masuk pada otaknya, karena dia benci guru tersebut, dia benci mengapa tak pernah ditanya baik-baik perihal bukunya yang tidak baru, dia benci diperlakukan seperti itu. Namun gadis kecil itu teringat, dia harus berhasil masuk SMP Negeri, dia harus bersekolah minimal sampai perguruan tinggi, karena pendidikan terakhir ayahnya adalah D-3. Ya, gadis berusia 10 tahun itu sudah memiliki target dan cita-cita yang jelas, bahwa dia ingin bersekolah hingga menjadi sarjana, dan yang paling penting, dia tidak pernah mengganti cita-citanya. Dari dulu dia ingin menjadi seorang guru.

Mengapa Intan ingin menjadi seorang guru?Karena dia melihat sosok ayah dan ibunya. Ibunya lulusan SPG (Sekolah Pendidikan Guru, setingkat SMA di masa itu), sementara ayahnya pernah menjadi guru SMP serta guru mengaji di masjid. Intan suka melihat koleksi buku-buku ayahnya yang digunakan untuk mengajar, dari mulai buku geografi, fisika, biologi, hingga buku menggambar. Bukan hanya suka, tapi intan juga membaca buku-buku tersebut meskipun tidak tahu persis apa makna di dalamnya. Bermodalkan keinginan yang kuat untuk bisa jadi sarjana, Intan harus memerdekakan diri dari belenggu kebencian pada gurunya, tidak mudah, namun perlahan akhirnya Intan mampu bertahan di kelas V dengan prestasi yang cukup baik. Dia naik ke kelas VI dan pada akhirnya berhasil masuk SMP yang diinginkan. Apakah kisah Intan berhasil memerdekakan diri dari belenggu apapun terhenti saat intan di SMP?ternyata tidak, masih ada kisah lainnya yang cukup menguras emosi, hampir menyurutkan langkah Intan untuk meraih cita-citanya.

“Mbak, ada apa kamu kok rame saja!!!”, Intan terkejut, sedikit ragu, apakah dia yang dimaksud. “iya kamu mbak, kamu yang berjilbab!!!”, akhirnya Intan benar-benar sadar, bahwa yang dimaksud guru PMP itu adalah dirinya. Dengan sopan intan berkata : “iya bu, tugas saya sudah selesai, ini teman minta diajarin bagaimana mengisi LKS nya”. Guru tersebut semakin marah : “gak usah sok pintar kamu mbak, pakai ngajarin teman segala!!!”. Intan hanya terdiam membisu, tidak lagi menjawab perkataan gurunya. Membetulkan posisi duduknya yang tadinya menghadap kebelakang, duduk dengan posisi yang benar di bangkunya, diam saja, tanpa melakukan apapun, tanpa berkata apapun namun pikirannya bekerja maksimal, banyak tanda tanya di kepalanya. Salahku dimana?salahku apa?apa ngajarin teman itu salah?kan aku sudah selesai, apakah aku salah bila mengerjakan LKS itu di rumah?kan mudah, tinggal mencari jawabannya di buku bagian depan, sudah ada semua jawabannya disitu, tinggal disalin saja. Lalu mengapa aku dibilang sok pintar?Aku mengerjakan LKS itu sendiri, tidak meminta bantuan pada siapapun. Aku ngajarin teman juga benar-benar diajarin, bukan langsung memberi tahu jawabannya, ngajarinnya ya dengan cara memperjelas kalimat pertanyaan sehingga temanku lebih mudah mengerti, lantas dimana letak kesalahanku???. Bukankah dengan aku ngajarin teman malah memudahkan guruku, karena berkurang tugas guruku dalam mengajar anak itu, lantas dimana letak kesalahanku sesungguhnya???Demikian banyak tanda tanya yang ada di kepala intan. Hanya dia simpan sendiri, tidak dia ceritakan pada temannya, karena memang pada dasarnya Intan enggan bercerita apapun kepada siapapun. Kalaupun bercerita, dia hanya bisa berbagi kebahagiaan, seluruh kesedihan dan gundah gulana biasa dia curahkan pada buku hariannya.

Pelajaran PMP di SMP kelas 1 berlangsung seminggu 2 kali, artinya Intan harus bertemu dengan guru yang sama selama 8 kali dalam satu bulan, dan kurang lebih 80 kali dalam setahun (anggap saja dalam setahun ada 10 bulan efektif untuk kegiatan belajar mengajar). Tentu saja Intan tetap harus mengikuti pelajaran PKN dengan baik apabila dia ingin nilai raportnya bagus, dan tentu saja dia wajib mengikuti alur kegiatan belajar mengajar sesuai kemauan gurunya yang tidak suka apabila Intan mengajari teman. Dalam hati Intan berkata : baiklah, dulu masalah dengan guru matematika SD bisa kulewati, maka saat ini dengan guru PMP juga harus mampu kulewati. Aku harus tetap fokus belajar bagaimanapun kondisinya, aku ingin nilai raportku bagus, aku ingin peringkatku bagus. Tentu saja tidak mudah bagi remaja 12 tahun itu, kalimat sok pintar masih saja terngiang-ngiang di otaknya. Berulang kali Intan membujuk dirinya sendiri dengan berkata dalam hati : Aku memang pintar, bukan sok pintar, sambil tersenyum sinis karena masih tidak terima dibilang sok pintar oleh gurunya. Intan berhasil melewati kelas 1 SMP nya dengan mendapatkan peringkat 5, 7, dan 3 (kala itu, sekolah dibagi dalam catur wulan, satu catur wulan terdiri dari 4 bulan. Sehingga dalam setahun ada 3 kali terima raport). Di kelas 2 dan 3 juga dilewati Intan dengan lancar, bahkan di kelas 3 Intan berhasil mendapatkan peringkat 1 dari 40 siswa. Sesuatu hal yang sudah sangat lama dicita-citakannya. Pada akhirnya Intan berhasil masuk SMA yang sesuai dengan keinginannya, dan diterima di perguruan tinggi negeri pada pilihan pertama. Dia juga berhasil mencapai cita-citanya yaitu menjadi seorang guru, bukan hanya guru, melainkan guru matematika. Jelas dia masih ingat guru matematika yang pernah membuatnya sempat membenci matematika, guru matematika yang sempat menyurutkan langkahnya untuk menjadi murid terbaik. Intan juga masih ingat dengan guru PMP nya dengan kalimat sok pintar tersebut. Namun Intan mampu berdamai dengan masa lalu, mampu memerdekakan dirinya sendiri dengan melepaskan belenggu kebencian, mampu memerdekakan diri dengan pengambilan keputusan yang tepat untuk tetap fokus belajar, menjadi murid terbaik dan mengabaikan faktor lainnya yang tidak terlalu penting.

 

 

 

    Oleh : Aisah Rachmawati-Guru Matematika SMP

 

Read more...
Subscribe to this RSS feed