Yayasan Perguruan Al-Irsyad Surabaya (YPAS). Menjadikan Sekolah Al-Irsyad Sebagai Agen Perubahan Masyarakat  read more

BENARKAH NEGERIKU TELAH MERDEKA?

Print Email
(2 votes)

Kumpulan awan hitam bersatu diatas langit yang kelam tanpa senyuman sang mentari. Jeritan langit-langit mulai berkumandang dikedua telinga kecilku. Namun semua itu tak menggoyahkan tanganku untuk turun berhenti menghormati sang saka merah putih. Ya, hari ini adalah hari dimana sang pertiwi sedang merayahkan ulang tahunnya, hari kemerdekaan Indonesia.

 

     Ditengah lapangan yang cuacanya tak lagi ramah, sang saka merah putih perlahan demi perlahan dikibarkan dengan iringan lagu Indonesia raya. Kunyanyikan bait demi bait lagu, kuhanyutkan diri dalam melodi nada,  kututup netraku yang perlahan meneteskan air matanya, kuukirkan senyum ditengah nuansa 78 tahun indonesiaku merdeka. Tak terbayang oleh anganku, berapa juta liter darah dan keringat tak bersalah yang tumpah selama ratusan tahun dibawah ribuan todongan senjata.

 

     Tahap demi tahap upacara telah terlaksana, hingga pada penutup upacara, para siswa dan para guru mulai dibubarkan. Banyak yang langsung pulang, banyak yang masih mengobrol, bahkan pergi kekantin, banyak juga yang duduk-duduk dilapangan hanya untuk sekedar melepas penat. Sementara aku saat ini sedang mengistirahatkan raga dibawah tempat teduh yang lumayan jauh dari keramaian, hanya ada aku dan 2 siswi lain disini.

 

     Oh ya, sebelumnnya perkenalkan namaku Fatimah Launara Afisya, biasa dipanggil fisya. Gadis berlesung pipi yang saat ini menginjak usia 17 tahun. Aku kelas 12 semester 1 yang masih sempoyongan berdiri dengan kedua kakiku sendiri

 

“enak ya hidup di luar negeri, terutama London dan Swiss. Negaranya maju, tempatnya bersih, banyak orang-orang berpendidikan lagi, gak seperti di Indonesia”

 

     Sayup-sayup kudengar pembicaraan dari 2 siswi disebelahku. Kualihkan perhatianku dari handphone ke arah mereka. ‘ah, ternyata adek kelas’ batinku setelah kulihat bed mereka yang masih bertulisan angka 11

 

“gak usah diragukan lagi kalau London sama Swiss. Jangan bandingin sama Indonesia, jelas kalah jauh. Sampah ada dimana-mana, banyak pengangguran, korupsi gak habis-habis, banyak orang yang buta huruf dan angka, memang pemerintahan Indonesia gak ada yang becus ” ucap salah satu siswi yang membawa segelas es cokelat yang hampir habis ditangannya. Teman satunya yang memakai kacamata hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan teman disebelahnya  “btw, besok kamu masuk sekolah gak?”

 

“besok kan ada pr matematika sama Bahasa Indonesia ya? Aku bolos aja deh, capek habis upacara tadi. Selain itu juga lagi malas mikir, apalagi ketemu matematika besok”

 

“kalau gitu besok kita ke mall aja yuk, katanya ada event baru besok pagi. Sekarang kita pulang dulu aja, mumpung hujan belum turun. Soal pr nanti kita bisa nyontek yang lain”

 

“Okey deh” mereka mulai beranjak dari tempat duduk mereka. Sebelum benar-benar pergi, salah satu dari mereka membuang gelas es cokelat yang telah habis sembarangan

 

“Dek!!” panggilku dengan sedikit keras

 

     Mereka menoleh kebelakang menatap ke arahku. Aku pun beranjak dari dudukku menghampiri gelas es cokelat yang telah dibuang sembarangan

 

“kalian tahu kenapa London dan Swiss negaranya bersih?” tanyaku pada mereka

 

Mereka memasang wajah bingung dengan sikap tiba-tiba yang kulakukan. Mereka saling pandang sejenak sebelum siswi berkacamata mulai menjawab “tentunya karena pemerintahan mereka yang bagus dan benar-benar memperhatikan kemajuan bangsanya”

 

“benar. Tapi kesadaran masyarakat juga dibutuhkan..” kupungut gelas es cokelat yang ada dibawah kakiku “..untuk membangun sebuah rumah tangga yang bagus dan nyaman untuk ditinggali, perlu adanya kerjasama antara penghuni rumah. Akan berat jika hanya satu pihak yang menjaga kebersihan dan kenyaman, sementara satu pihak lain selalu mengotori dan berbuat semaunya sendiri. Jika seperti itu, bagaimana  suatu negara dapat menjadi negara yang maju?” lanjutku

 

Melihat mereka yang hanya diam termenung, aku kembali bersuara “menurut kalian, mengapa rata-rata masyarakat London dan Swiss memiliki pendidikan yang lebih tinggi dari indonesia?” tanyaku seraya kutatap mata mereka yang sedikit menundukkan kepalanya

 

“karena dibandingkan pergi ke mall, banyak dari mereka yang lebih memilih mengerjakan pr matematika yang lebih sulit. Alih-alih menghindari, mereka lebih memilih untuk menghadapinya sendiri tanpa menyontek yang lain. Alih-alih mengeluh, mengapa kalian tidak mencoba melakukan tindakan untuk membuat Indonesia lebih merdeka dari tanggal 17 agustus 1945? Dengan kita belajar itu sudah meneruskan perjuangan para pahlawan kita. Jangan pernah mengibarkan bendera putih dalam belajar, karena masa depan bangsa bergantung pada generasi muda seperti kalian”

 

     Selesai mengatakan itu, aku beranjak dari hadapan mereka setelah kuserahkan gelas es cokelat yang kupegang tadi ketangan mereka.

 

-----------------

 

     Hiruk pikuk jalanan sang kota pahlawan tak pernah berubah. Hanya saja hari ini lebih banyak bendera merah putih yang berkibar dimana-mana. 78 tahun indonesiaku menghirup udara kemerdekaan, berdiri dan mulai melangkah dengan kedua kakinya sendiri. Bebatuan tak luput pula menyertai jalannya, beberapa kali membuat langkah ibu pertiwi goyah dan terjatuh, namun sedikit pun tak pernah berniat mengibarkan bendera putih pada dunia

 

“hai fisya”

 

Kutolehkan kepalaku kesamping kanan dikala runguku mendengar seseorang menyapa diriku. Seorang Perempuan cantik dengan gigi gingsulnya. Ia adalah seorang relawan di desa-desa terpencil, aku mengenalnya saat diriku menjadi relawan di daerah NTT 5 bulan lalu. Dia bernama Ravella Putri Azzahra, biasa dipanggil dengan Vella

 

“hai juga vel. Kamu sedang apa di Surabaya?” tanyaku. Karena setahuku perempuan tersebut bukan penduduk asli Surabaya

 

“aku sekarang kuliah sambil kerja disini. udah sekitar 3 bulan yang lalu”

 

“ooh, tinggal di daerah mana disini?” basa-basi kami terus berlanjut sambil berjalan ditemani pohon-pohon yang daunnya mulai mongering dan menjatuhkan dirinya

 

     Beberapa langkah telah kami lewati bersama dengan kami yang terus bertukar kabar dari lamanya waktu memisahkan. Tak sengaja netraku menangkap seorang pengemis tua yang ringkih duduk dipinggir jalan sambil mengusap perutnya

 

“melihat nenek pengemis yang menahan perihnya kelaparan di hari Indonesia merayakan kebebasannya, apa arti kemerdekaan yang sebenarnya bagimu? Apakah benar Indonesia sudah benar-benar merdeka?”tanya Vella yang juga menatap pengemis tersebut

 

Aku mulai melangkahkan kaki ke arah nenek tua tersebut. Kutaruh uang 10.000 digelas plastik yang rata-rata berisi uang receh didekat nenek tersebut

 

“Terima kasih nduk sedekahnya, semoga diberi kesehatan dan kelancaran segala urusan yang akan datang” ku aminkan doa yang nenek panjatkan untukku

 

“sama-sama nek”

 

“tadi ada upacara 17 agustusan ya?” tanya nenek padaku, aku pun hanya menganggukkan kepala tanda mengiyakan ucapan si nenek

 

“nanti malam katanya akan ada acara besar-besaran untuk merayakan kemerdekaan Indonesia di alun-alun kota, kamu datang? Tanya nenek lagi kepadaku

 

“insyaallah, iya nek. Nenek sendiri bagaimana?”

 

Jeda beberapa detik, nenek terdiam membisu. Kulihat perlahan nenek mulai tersenyum dan menatap tepat ke arah mataku seraya berkata “tepat hari ini ditahun 1945 para polisi membebaskan ibu pertiwi dari penjara yang dingin dan gelap gulita. Setelah ratusan tahun dibalik jeruji besi yang penuh kekanganan, akhirnya ibu pertiwi dapat menghirup udara kemerdekaan nya. Merah putih berkibar dimana-mana, banyak teriakan dan tangis haru saling bersahut-sahutan. Nenek bahagia saat itu, namun sayangnya nenek yang saat itu berusia 7 tahun tidak memiliki tenaga untuk berlari dan teriak-teriak seperti anak-anak yang lainnya, tenaga nenek saat itu sudah habis untuk menahan perihnya rasa lapar..”

 

Aku terdiam, lidahku kaku tak bisa mengucap kata. Kutatap lembut mata nenek yang mulai berkaca-kaca

 

“Nenek kira saat sorakan ‘MERDEKA’ mengisi pelosok negeri, nenek akan menjalani hidup lebih layak dan tak perlu menahan lapar lagi. Namun nyatanya sebelum dan sesudah merdeka, kelaparan masih nenek rasakan. Lalu apa arti merayakan kemerdekaan untuk orang-orang seperti kami? Bagi rakyat yang setiap harinya tak pernah kenyang, kemerdekaan tak ada bedanya dengan zaman penjajahan. Bukankah mati karena tembakan lebih baik daripada mati secara perlahan karena kelaparan?”

 

     Aku terdiam membisu, rasanya seperti suaraku dipenjarakan secara paksa. Korupsi, kelaparan, pengangguran, kemiskinan, rendahnya pendidikan, dan lainnya, benarkah negeriku ini sudah benar-benar merdeka?

 

     Bagiku tidak, Indonesiaku masih setengah merdeka. 78 tahun usia yang masih dini untuk ribuan pulau dan ratusan juta manusia mengecap arti kemerdekaan yang sebenarnya.

 

     Pondasi dari merdekanya suatu negara berasal dari iman dan ilmu kepintaran yang didapatkannya dari belajar, jangan pernah mengejar kepintaran tanpa keimanan yang menyertai, suatu negara akan hancur dengan penduduk seperti itu.

 

     Perjuangan tak selalu berbentuk darah, jangan pernah berhenti mengejar ilmu dan iman, bahkan disaat tulangmu rasanya akan patah. Karena perjuangan sang pertiwi tidak berhenti pada tanggal 17 Agustus 1945

 

     Kalau menurut kalian? Apa arti kemerdekaan yang sebenarnya?

 

 karya Syifa’ul Ummah

Siswa SMK XII-Keperawatan 1

pemenang lomba menulis kreatif tingkat SMK bertema Kemerdekaan yg diselenggarakan YPAS